Situasi ini mengarah pada konflik yang lebih intens, dengan kedua belah pihak saling menuding dan membantah tanggung jawab atas kekacauan yang ada.
Dikutip oleh The Guardian, pada 2017, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu reaksi keras dari Abbas dan mengganggu rencana perdamaian yang dirancang oleh administrasi AS. Abbas mengecam keputusan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan menegaskan kembali posisi Palestina dalam masalah Yerusalem. Netanyahu menyambut keputusan Trump dan terus mendukung rencana pemukiman yang dianggap kontroversial dan mengabaikan konsesi penting yang diinginkan Abbas.
Dalam beberapa tahun terakhir, usaha untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian sering kali terhenti. Netanyahu dan Abbas terlibat dalam retorika saling tuding dan perselisihan publik, dengan kedua belah pihak menunjukkan sedikit minat untuk melanjutkan negosiasi yang konstruktif. Usaha diplomasi dari berbagai pihak internasional juga mengalami kebuntuan, dengan Netanyahu mengklaim bahwa Abbas tidak berkomitmen untuk perdamaian dan Abbas mengkritik Israel atas kebijakan pemukiman dan tindakan militer yang dikutip dari Reuters.
Hubungan antara Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu mencerminkan ketegangan mendalam dalam konflik Israel-Palestina yang lebih luas. Meskipun ada periode interaksi dan upaya diplomatik, ketidakpercayaan dan perbedaan mendalam dalam tujuan dan kebijakan sering kali menghambat kemajuan menuju perdamaian yang langgeng.
(Susi Susanti)