JAKARTA – China dilaporkan tengah bergulat dengan gelombang deflasi yang mengingatkan masyarakatnya pada krisis keuangan Asia pada 1997-1998. Situasi ini memperngaruhi harga bahan pangan di sejumlah wilayah di Negeri Tirai Bambu.
Melansir Forbes, deflasi terjadi dan konsumsi menurun, harga barang-barang konsumsi pokok telah anjlok. Misalnya, harga daging sapi, yang dulunya merupakan barang mewah bagi orang biasa, kini hampir jatuh ke harga daging babi, yang jauh lebih murah.
Harga barang yang menurun sekilas terdengar bagus bagi konsumen, namun pada kenyataannya situasi ini bisa berakibat buruk bagi perekonomian. Pasalnya, deflasi bisa menyebabkan penurunan produksi, pengangguran, dan penurunan investasi.
Tak hanya harga makanan, barang konsumsi lainnya, seperti minuman keras pun mengalami penurunan yang cukup besar. Misalnya, di Hunan, distributor lokal mengeluhkan bahwa dia biasanya bsia menjual minuman keras Maotai 1935 seharga 1.250 Yuan (sekira Rp2,7 juta) per botol, tetapi sekarang turun menjadi 700 Yuan (Rp1,5 juta), penurunan lebih dari 40 persen.
"Kami memiliki banyak persediaan dan ingin menjualnya. Tidak ada keuntungan tersisa dalam penjualan Maotai 1935," katanya, dikutip dari The Hong Kong Post, Jumat, (17/1/2025).
Sektor lain yang juga merasakan dampak deflasi adalah industri penerbangan dimana harga tiket pesawat mengalami penurunan yang cukup signifikan, dan sektor properti. Bahkan menurut laporan Hong Kong Post, dampak deflasi di pasar perumahan China membuat beberapa properti dijual dengan potongan hingga 70%.
Awal tahun ini, Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa badan penasihat utama di China telah menyiapkan laporan yang memperingatkan para pemimpin China bahwa tanpa langkah-langkah mendesak untuk meningkatkan ekonomi, China berisiko jatuh ke dalam spiral deflasi yang mirip dengan Depresi Besar di Amerika Serikat (AS) dari tahun 1929 hingga 1933.
Menurut laporan tersebut, Presiden China Xi Jinping bertanya kepada para penasihatnya tentang karakteristik deflasi. Setelah mengetahui bahwa deflasi melibatkan penurunan harga, ia diduga menjawab, "Apa yang salah dengan deflasi? Bukankah orang akan lebih bahagia jika barang menjadi lebih murah?"
Pertanyaan Xi Jinping yang dilaporkan WSJ itu menarik perbandingan dengan penguasa China di masa lalu, Kaisar Hui dari Jin, yang menanggapi laporan tentang kelaparan dengan bertanya "Mengapa mereka tidak makan daging saja?"
Tidak diketahui apakan pertanyaan itu benar-benar diajukan oleh Xi atau hanya merupakan lelucon dari WSJ, tetapi ini bisa menunjukkan potensi kesalahapahaman, terutama di publik, terhadap konsekuensi negatif dari deflasi.
Menurut paparan WSJ, terdapat dua jenis deflasi: deflasi struktural dan deflasi yang didorong oleh utang. Para ahli memperingatkan Xi bahwa masalah saat ini adalah deflasi yang didorong utang, mirip dengan apa yang terjadi selama Depresi Besar.
Spiral deflasi ini memperketat likuiditas di setiap kesempatan, karena siklus produksi, distribusi, dan konsumsi semakin menyusut, menyerupai pegas yang semakin terkompresi dengan setiap putaran, yang pada akhirnya menjerumuskan masyarakat ke dalam stagnasi ekonomi.
Akar penyebab fenomena deflasi ini adalah pinjaman berlebihan oleh individu dan entitas yang seharusnya tidak memiliki akses ke pinjaman tersebut. Ketika para peminjam ini gagal membayar utangnya, mereka terpaksa menjual aset dengan harga tinggi untuk mendapatkan likuiditas atau dengan diskon besar karena nilai aset yang turun. Kedua skenario tersebut menyebabkan sirkulasi ekonomi melambat.
Ketika perusahaan menghadapi penurunan laba karena devaluasi aset, mereka mengurangi produksi dan mulai memberhentikan pekerja, yang memicu persaingan untuk bertahan hidup. Bank, yang menderita kerugian mereka sendiri dan menurunnya kepercayaan pada kemampuan pembayaran peminjam, telah memperketat kredit.
Bahkan bisnis berkualitas tinggi pun merasa kesulitan untuk mendapatkan pinjaman, dan pinjaman yang ada ditarik atau tidak diperpanjang. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan bangkrut, yang selanjutnya memperlambat sirkulasi ekonomi.
Setiap siklus dari produksi hingga konsumsi menyusut, dengan pengeluaran di kedua sisi menurun. Harga mungkin turun, tetapi dompet orang menyusut lebih cepat, dan daya beli menurun pada tingkat yang dipercepat.
Saat ini, di China, lebih dari 50 persen dari total utang sosial terdiri dari pinjaman bank, baik dari utang rumah tangga atau utang tersembunyi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, deflasi di China merupakan contoh klasik deflasi yang disebabkan oleh utang, yang melibatkan penurunan upah dan harga secara bersamaan, meningkatnya angka pengangguran, dan peningkatan nilai riil utang. Ini merupakan bentuk deflasi yang ‘paling menyakitkan,’ yang berkontribusi pada suasana pergulatan ekonomi yang berat.
Krisis deflasi di China menghadirkan tantangan signifikan yang memerlukan tindakan cepat dan menyeluruh untuk menanggulanginya. Kepemimpinan China harus mengatasi akar penyebab kemerosotan ekonomi ini, seperti pinjaman yang berlebihan dan pengetatan likuiditas.
Menerapkan kebijakan untuk merangsang konsumsi, mendorong investasi, dan menstabilkan harga akan sangat penting dalam mencegah krisis ekonomi yang lebih mendalam. Tanpa tindakan proaktif, China berisiko mengalami stagnasi ekonomi berkepanjangan, dengan konsekuensi yang luas bagi posisi ekonomi domestik dan globalnya.
(Rahman Asmardika)