Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pengamat Paparkan soal Ketidakpastian Hukum di Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP

Arief Setyadi , Jurnalis-Rabu, 12 Februari 2025 |20:41 WIB
Pengamat Paparkan soal Ketidakpastian Hukum di Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP
Ilustrasi hukum (Foto: Ist)
A
A
A

JAKARTA – Kewenangan jaksa atas nama asas dominus litis yang bakal dilegalisasi melalui Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP menuai sorotan. Sebab, hal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, seperti kasus yang tengah ramai sekarang.

"Kasus pagar laut Tangerang dan kasus timah adalah dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa," ujar Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi dalam keterangannya, Rabu (12/2/2025).

Dalam kasus pagar laut Tangerang misalnya, kata Haidar ditangani tiga lembaga penegak hukum, yakni Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kejaksaan dan KPK mengusut kasus dugaan korupsinya, sementara Polri dugaan pidana umum.

"Antara KPK dan Kejaksaan dua lembaga penegak hukum menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum," imbuhnya.

Haidar mendorong perlunya KUHAP mengatur ada pemisahan fungsi kewenangan penegak hukum, sehingga tidak terjadi hal semacam itu. Misalnya, KPK diberi tugas pemberantasan tindak pidana korupsi digabungkan dengan fungsi penyidikan dan penuntutan.

Sedangkan Jaksa sebagai penuntut umum dan hakim sebagai pengadil. Sementara Polri dan PPNS sebagai penyidik. "Namun kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut. Padahal, tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini, jaksa terkesan lebih KPK daripada KPK hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum," katanya.

 

Kasus timah juga menjadi contoh ketidakpastian hukum. Di mana, vonis hakim tak sesuai dengan besarnya kerugian dan dianggap sebagai korupsi terbesar.

"Dampaknya bukan hanya merugikan pelaku dan keluarga karena terlanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar, tapi juga merugikan hakim karena dicap pro koruptor. Padahal, itu terjadi karena kegagalan jaksa membuktikan tuntutan dan dakwaannya di pengadilan," tuturnya.

Ditambah dengan persoalan penghitungan kerugian Negara yang diralat. Kejagung menyampaikan Rp271 triliun, yang selanjutnya diralat menjadi Rp300 triliun. Kejagung memperoleh dari hasil audit BPKP dan perhitungan ahli.

Kerugian itu Rp271 triliun dianggap dari kerugian ekologis. Kemudian, Rp29 triliun kerugian keuangan.  Sementara vonis hakim, uang yang diterima 17 terdakwa tidak sampai Rp15 triliun yang artinya ada selisih mencapai Rp285 triliun dari dakwaan jaksa.

"Harusnya kan audit kerugian negara itu dihitung dan diumumkan oleh BPK bukan BPKP. Lalu, dilampirkan sebagai alat bukti. Tapi ini tidak. Alias goib. Korupsi itu kerugian negaranya harus actual loss (nyata), bukan potential loss (perkiraan)," katanya..

Haidar menilai, jaksa bertindak sebelum jelas dan nyata kerugian Negara berdasarkan audit BPK.  Di mana, jaksa lidik sendiri, sidik sendiri, kemudian menentukan auditor sendiri yang ternyata keliru dan mereka tuntut sendiri.

 

Hal berbeda ketika kepolisian yang melakukan lidik dan sidik. Di sini, jaksa dapat memainkan perannya untuk mengoreksi. Begitu juga ketika sidik, lidik dan tuntut oleh KPK karena penyidiknya terdiri dari gabungan polisi, jaksa dan PPNS.

"Jadi, kewenangan berlebih jaksa telah terbukti mengabaikan checks and balances, menimbulkan ketidakpastian hukum, menyebabkan kegaduhan dan carut-marut penegakan hukum," katanya.

Untuk itu, Haidar mengaku khawatir akan terjadi kekacauan hukum jika kewenangan jaksa berlebih atas nama asas dominus litis yang bakal dilegalisasi lewat RUU Kejaksaan dan KUHAP. "Sudah semrawut masih mau diawut-awut jadinya makin kusut. Dan ini tidak sesuai dengan asta cita Presiden Prabowo Subianto mengenai transformasi hukum," pungkasnya.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement