JAKARTA – Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menyoroti pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menilai, pemberantasan korupsi kerap dianggap sebagai sandiwara karena praktik merampok uang negara masih terus berlangsung.
Korupsi di Indonesia, menurut Pieter, bukan hanya masalah yang harus diberantas, melainkan telah menjadi sistem yang dipertahankan oleh para penegak hukum sendiri. Mustahil masyarakat percaya institusi hukum seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan Mahkamah Agung ketika koruptor yang menyebabkan kerugian negara besar lolos.
"Bagaimana mungkin KPK bisa diandalkan jika ketuanya sendiri terlibat dalam mafia anggaran? Dan masih banyak kasus-kasus besar lainnya kemudian menguap dan hilang tanpa bekas," ujar Pieter Zulkifli dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Sabtu (15/3/2025).
Pieter juga mengkritik perilaku para elite yang berpura-pura berjuang untuk rakyat, padahal mereka adalah aktor utama dalam merampok kekayaan negara. Ia menilai korupsi di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
"Ironi terbesar terjadi ketika mereka yang seharusnya memberantas korupsi justru terjerat dalam pusaran korupsi itu sendiri. Meski terasa getir, namun fenomena memberantas sambil korupsi bukan lagi kasus yang mengejutkan," imbuhnya.
Kemunduran KPK juga tak luput dari sorotan. Dulu KPK diharapkan menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, namun mereka yang ada di dalam ternyata tak lepas dari pusaran kasus korupsi.
Salah satu contohnya adalah mantan Ketua KPK, Firli Bahuri yang terjerat dalam skandal korupsi di Kementerian Pertanian. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa KPK sudah tidak lagi steril dari korupsi.
Korupsi juga merambah ke lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, dengan kasus-kasus besar seperti Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa.
"Irjen Teddy Minahasa yang seharusnya memberantas narkoba tetapi justru terlibat dalam jual beli barang haram, semakin memperjelas betapa bobroknya sistem penegakan hukum di negeri ini," ujarnya.
Selain itu, Pieter mengkritik sistem peradilan yang tercemar oleh mafia hukum, mengacu pada penangkapan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menerima suap untuk memberikan vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan wanita bernama Dini Sera.
Uang suap Rp20 miliar ditemukan di enam lokasi berbeda. Kondisi ini semakin menegaskan, bahwa hukum di Indonesia bukan lagi soal keadilan, melainkan rendahnya moral pejabat dan mereka yang memiliki modal dapat mempengaruhi kebijakan.
"Yang lebih mengejutkan lagi, uang dalam jumlah besar bisa membeli jabatan dan kekuasaan. Ketika keadilan dapat diperjualbelikan, maka rakyat kecil hanya bisa pasrah memikul berbagai macam penderitaan dengan kenyataan bahwa selama ini hukum memang tidak pernah berpihak kepada mereka," ujarnya.
Meskipun ada undang-undang pemberantasan korupsi, pelaksanaannya tetap lemah. Regulasi yang ambigu dan kurangnya transparansi dalam pengawasan menjadi kendala besar.
Kasus-kasus rekening gendut yang melibatkan BUMN dan lembaga negara seperti Kementerian Keuangan Rp349 triliun yang pernah disampaikan Mahfud MD. Kemudian, ada Asabri, dan Jiwasraya dan lainnya menambah daftar kelam korupsi di negeri ini.
"Pertanyaannya, apakah penegak hukum benar-benar serius menangkap, menghukum, dan merampas harta para pelaku kejahatan korupsi untuk dikembalikan kepada negara? Ataukah semua ini hanya drama yang dimainkan untuk sekadar menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berjalan?" ujarnya.
Pieter menilai pemberantasan korupsi hanya sekadar drama tanpa tindakan nyata. Menurutnya, untuk keluar dari jebakan ‘middle income trap’, Indonesia perlu berinvestasi dalam sumber daya manusia dan infrastruktur, serta melakukan transformasi ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Namun, semua itu hanya bisa tercapai jika Indonesia memiliki pemimpin yang berani mengambil langkah tegas. Pieter juga mengusulkan agar Indonesia meniru negara-negara seperti Tiongkok, Arab Saudi, dan Singapura dalam menerapkan hukuman berat bagi koruptor, serta menyita harta mereka.
"Indonesia tidak akan pernah bebas dari korupsi jika terus dipimpin oleh orang-orang yang korup dan takut mengambil tindakan tegas. Kita membutuhkan pemimpin yang berani membersihkan negeri ini dari para penjarah uang rakyat, menindak tegas para pelaku korupsi, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum," katanya.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu menegaskan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, rakyat perlu menuntut pemimpin yang bersih, berani, dan tidak kompromi dengan koruptor.
"Sebab, selama para pengkhianat rakyat masih bercokol di kursi kekuasaan, selama itu pula mimpi tentang Indonesia yang adil dan makmur akan tetap menjadi ilusi belaka," pungkasnya.
(Arief Setyadi )