JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana dengan hukuman 4 tahun penjara. Budi dianggap terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kemenkes saat pandemi Covid-19.
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di Rutan," kata jaksa membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Budi Sylvana juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan badan. Jaksa turut membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa lainnya, yakni Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM), Ahmad Taufik dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), Satrio Wibowo.
Untuk Ahmad Taufik, dituntut 14 tahun 4 bulan penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan badan. Ia juga dituntut untuk membayar uang pengganti Rp224,18 miliar subsider 6 tahun penjara.
Sementara Satrio Wibowo dituntut 14 tahun 10 bulan penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, dituntut membayar uang pengganti Rp59,98 miliar subsider 4 tahun penjara.
Hakim meyakini, perbuatan mereka melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Sebelumnya, tiga terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kemenkes didakwa merugikan negara Rp319 miliar. "Telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06," kata Jaksa di ruang sidang.
Jumlah kerugian tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP tentang Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan APD pada Kemenkes RI menggunakan Dana Siap Pakai pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (DSP BNPB) Tahun 2020 Nomor PE.03.03/SR/SP-680/D5/02/2024 tanggal 8 Juli 2024.
Para terdakwa dalam surat dakwaan disebut melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum berupa negosiasi harga APD sebanyak 170 ribu set. Negosiasi tersebut dilakukan tanpa menggunakan surat pesanan.
"Melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran," ujarnya.
"Serta menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp711.284.704.680 (Rp711 miliar) untuk PT PPM dan PT EKI," sambung Jaksa.
Jaksa menyebutkan, PT EKI tidak memiliki izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). PT EKI dan PT PPM juga tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kesepakatan negosiasi APD.
"Sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan," ucapnya.
(Arief Setyadi )