Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Membaca Senyap di Taman Langsat: Bertemu karena Buku, Berteman Atas Nama Pemikiran

Zen Teguh , Jurnalis-Senin, 26 Mei 2025 |16:16 WIB
Membaca Senyap di Taman Langsat: Bertemu karena Buku, Berteman Atas Nama Pemikiran
Hestia Istiviani (depan) mengajak penggemar buku foto bersama usai kegiatan baca bareng di Taman Langsat, Minggu (25/5/2025). (Foto: Okezone/Zen Teguh)
A
A
A

JAKARTA – Jarum jam telah menunjuk angka 10 pagi, tapi langit masih muram. Kemarau basah akhir Mei agaknya membuat matahari malas sombong ke bumi. Terik yang biasanya menyengat, lindap terusir sejuk merambat. Atmosfer itu pula yang membekap Taman Langsat, Jakarta Selatan, Minggu (25/5/2025) kemarin.

Awan kelabu tak mau beranjak sepanjang hari. Terkadang satu-dua percik kecil air bahkan menetes dari langit meski cepat tersapu bayu. Namun mendung tebal rupanya tak menyurutkan ratusan bibliofilia, sebutan untuk penggemar buku, datang ke taman rindang ini. Tak sedikit yang datang sendiri, banyak pula bersama kelompok.

Di salah satu sudut taman berpermadani rumput hijau mereka duduk. Tanpa ada yang menggerakkan, semua penikmat buku itu lantas tenggelam dalam bacaan. Semua diam. Hening tercipta. Mata dan pikiran larut dalam emosi kalimat demi kalimat pada rangkaian tulisan.
 
Satu jam lamanya suasana ini berlangsung. Tepat pukul 11.00 WIB, suara perempuan memecah sepi. “Terima kasih teman-teman. Yang masih mau baca silakan, tapi kita foto bersama dulu ya,” ucapnya, nyaring.

Perempuan muda itu, Hestia Istiviani, seorang pelantang buku (bookfluencer). Bersama koleganya, Hasyemi Rafsanjani Asyari, mereka mengorganisasi kegiatan membaca bareng itu.

Hestia dan Hasyemi agak terperangah kali ini. Lebih dari 300 penikmat buku hadir. “Waduh muat gak ya (dalam foto). Ayo yang belakang agak merapat,” katanya, mencoba mengatur barisan.

 

Membaca dalam Diam

Bukan tanpa alasan ratusan orang datang ke Taman Langsat pagi kemarin. Langkah kaki mereka ditarik magnet bernama silent reading session yang digelar Baca Bareng Silent Book Club Chapter Jakarta, sebuah gerakan literasi yang diinisiasi Hesti.

Silent Book Club atau membaca senyap merujuk pada gerakan sama di dunia yang bermula di San Fransisco, Amerika Serikat. Didirikan Guinevere de la Mare dan Laura Gluhanich pada 2012, SBC berkembang luas secara global. Setidaknya 1.600 cabang (chapter) SBC berdiri di lebih dari 50 negara sekarang ini.

Konsepnya sangat sederhana. Semua orang bebas datang dan membaca bareng secara senyap alias tanpa suara. Apa pun boleh dibaca. Buku, majalah, surat kabar, novel dan lainnya. Tidak pula dibatasi dalam platform fisik. Mereka yang hadir berbekal medium digital semacam kindle pun tak dilarang.

“Di Baca Bareng tidak ada keanggotaan atau membership. Siapa pun boleh bergabung, tanpa harus mendaftar. Baca Bareng bukan komunitas melainkan inisiatif gerakan literasi,” tutur Hesti.

Sarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga ini menegaskan, Baca Bareng SBC tidak mau mengikat siapa pun. Sebaliknya, mereka yang pernah hadir atau berpartisipasi dalam acara ini tidak terikat. Pendek kata: silakan datang, bebas membaca, selesai, bubar.

Jangan heran tidak ada sesi diskusi dalam acara membaca dalam diam ini. Begitu pun tidak akan ada sesi bedah buku dan semacamnya. Perkenalan antara partisipan juga bukan sebuah keharusan atau diharuskan. 

Dalam bahasa Wiwin, pembaca buku asal Tangerang Selatan yang turut hadir, Baca Bareng ibarat pertemuan yang dilandasi satu kesadaran. “Bertemu karena buku, berkawan dalam ruang pemahaman untuk mengasah pengetahuan maupun pemikiran,” tuturnya.
 

 

Merawat Pengetahuan

Gerakan membaca tak dimungkiri menjadi oase di tengah fakir literasi negeri ini. Berbagai studi menunjukkan tingkat literasi Indonesia tergolong rendah. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), misalnya, pernah mengunggah riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016.

Laporan itu menyatakan Indonesia peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia dikangkangi Thailand (59) dan hanya lebih baik dari Bostwana (61), negara relatif miskin di Afrika. Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia antara 3-4 per tahun. Ini mengacu pada survei Tingkat Kegemaran Membaca yang dilakukan Perpustakaan Nasional pada 2024.

Laporan World Population Review pada 2025, rata-rata 5,9 buku yang dibaca orang Indonesia selama setahun. Waktu yang dihabiskan membaca mencapai 129 jam. Angka ini sangat jauh dibandingkan Amerika Serikat di posisi teratas dengan rata-rata 17 buku dibaca, sementara waktu yang digunakan rata-rata 357 jam.

Di era digital, membaca buku seperti seni yang hilang. Padahal, kata David Cevoli—seorang pengajar di Benjamin Franklin International School--, membaca sangat penting karena setidaknya 10 alasan. “Membaca meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman,” ujarnya dikutip dari artikel bertajuk “10 Reasons Why Reading Books is Still Fundamental”.

Alasan lainnya, membaca dapat memperbesar gudang kosakata dan bahasa. Bagi siswa, membaca juga berguna mengembangkan empati, emosional serta sosial. “Buku memberikan paparan tentang ide-ide baru dengan demikian (pembaca) memiliki pemahaman lebih luas tentang dunia,” ujarnya.

Gerakan literasi tak dimungkiri menjadi kewajiban bersama. Kegiatan membaca buku bareng hanya salah satu contoh agar nyala obor pengetahuan tetap hidup. Seperti ungkapan klasik filsuf Marcus Tullius Cicero, “Ruang tanpa buku seperti tubuh tanpa jiwa”. Novelis masyhur Ernest Hemingway punya filosofi senada. Katanya suatu ketika, “Tidak ada teman paling setia kecuali buku.”

(Zen Teguh)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement