SUNAN Giri pernah mencegah insiden peperangan antara Kerajaan Mataram Islam dengan Pangeran Surabaya. Peristiwa ini terjadi ketika Mataram diperintahkan oleh Panembahan Senopati sebagai raja. Senopati memang dikenal memiliki kedekatan dengan Sunan Giri.
Pendiri Kerajaan Mataram itu pun konon mengirimkan surat kepada Sunan Giri karena kedekatannya. Surat itu dikirimkan Panembahan Senopati melalui utusannya ketika dilantik jadi raja di Kesultanan Mataram. Surat itu berisikan kepastian tentang ramalan yang pernah disampaikan Sunan Giri kepada Sultan Pajang, bahwa dirinya menjadi raja besar di Pulau Jawa.
Menerima surat itu, Sunan Giri sebagaimana dikutip dari "Awal Kebangkitan Mataram : Masa Pemerintahan Senapati", akhirnya mengundang Senapati untuk memperoleh keyakinan sendiri tentang ketepatan ramalannya, dengan cara menyerang Jawa Timur.
Setelah itu ramalan diberikan, dan kesimpulannya berbunyi: "Gusti menjadi abdi, abdi menjadi gusti. Buktinya sudah ada di Pajang dan Mataram." Senapati menerima undangan itu dan memutuskan, menurut contoh Sultan Pajang, berangkat pada bulan Muharam. Pamannya, Dipati Mandaraka, akan membawa para adipati dari Pati, Demak, dan Grobogan ke arah timur, sehingga mereka tidak perlu berkumpul di Pajang.
Bala tentara itu sampai di Japan, yang kini bernama Mojokerto. Di sana muncul pula pasukan Jawa Timur yang dipimpin oleh Pangeran Surabaya, yang merasa khawatir bahwa Senapati bertujuan menaklukkan semua kerajaan Jawa Timur. Ada pula para bupati dari Jawa Timur dan Madura, sebuah barisan yang beraneka ragam.
Di Mojokerto pula, sesuai Babad Tanah Jawi, juga tiba seorang utusan Sunan Giri yang mengumpulkan para pemimpin dan priai itu di kubunya. Kepada Senapati dan Pangeran Surabaya. yaitu para anak didik Sunan Giri, oleh utusan itu dibacakan surat Sunan Giri yang berisi larangan berperang guna mencegah pertumpahan darah dan menyelamatkan rakyat kecil.
Dimunculkanlah teka-teki yang diminta kedua untuk memilih antara isinya atau kulitnya. Pangeran Surabaya memilih isinya, Senapati memperoleh kulitnya. Sunan Giri menyatakan kepada utusannya setelah ia pulang: "... kulit itu adalah tanahnya, isinya orang-orangnya. Apabila orang-orang itu tidak patuh pada pemilik tanah, maka mereka itu diusir." Senapati memang telah memilih yang terbaik.
Konon Serat Kandha mendeskripsikan bagaimana kekuatan tak seimbang antara kubu Panembahan Senopati yang disokong oleh Sunan Giri dengan Pangeran Surabaya. Pertemuan antara kedua pasukan Senopati dan Pangeran Surabaya ini pasca Senopati memohon penegasan Sunan Giri atas pengangkatannya sebagai panembahan dan memperolehnya.
Setelah itu diputuskannya untuk menaklukkan ujung timur Jawa dengan mengirimkan pasukan sebanyak 6.000 orang, berikut juga pamannya. Tetapi untuk melawannya Pangeran Surabaya mengumpulkan lebih kurang 40.000 orang yang berasal dari bupati-bupati di sekitarnya, dan terlebih dahulu mengirimkan berita tentang ekspedisi yang akan dilakukannya itu kepada Sunan Giri. Kubu kedua pasukan berhadapan, tidak lama kemudian 40 santri dari Giri, melalui garis depan, datang membawa surat balasan dari Sunan.
(Angkasa Yudhistira)