Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pangeran Diponegoro dan Skandal Eropa di Keraton Jawa

Avirista Midaada , Jurnalis-Senin, 04 Agustus 2025 |07:05 WIB
Pangeran Diponegoro dan Skandal Eropa di Keraton Jawa
Pangeran Diponegoro (foto: wikipedia)
A
A
A

PERILAKU para pejabat senior Belanda mengejutkan masyarakat Jawa, termasuk Pangeran Diponegoro. Bagaimana tidak, gaya hidup hedonis para pejabat tersebut disertai dengan hubungan tidak senonoh, seperti hubungan asmara dengan perempuan yang sama, yakni istri D’Abo, Anna Louisa, yang kemudian dinikahi oleh pejabat Nahuys van Burgst, Residen Belanda untuk Yogyakarta dan Surakarta.

Para pejabat Belanda ini konon juga menggoda, bahkan mengambil perempuan-perempuan dari kalangan bangsawan istana, termasuk ibu dari anak-anak ningrat Jawa. Pangeran Diponegoro menyoroti perilaku tak pantas para pejabat Belanda di Karesidenan Yogyakarta, yang dianggap sebagai hal lumrah di antara kalangan pejabat Eropa saat itu di Jawa Tengah.

Hal inilah yang disebut oleh Van Hogendorp, salah satu jenderal Belanda, sebagai penyebab kebencian dan rasa terhina yang mendalam di kalangan masyarakat Jawa. Bahkan, salah satu kerabat Pangeran Diponegoro, seorang penghulu utama atau pejabat agama senior di Rembang, menyebut kebejatan moral para pejabat Belanda sebagai satu dari empat masalah utama yang harus diselesaikan. Ini sebagaimana dikutip dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785–1855 karya Peter Carey.

Permintaan untuk menyelesaikan masalah ini menjadi hal mutlak bagi masyarakat Jawa, termasuk bagi sang pangeran, sebelum Perang Jawa dapat berakhir. Beberapa insiden amoral yang terjadi di Keraton Yogyakarta pun turut menyulut kemarahan Diponegoro. Padahal, seharusnya perbuatan-perbuatan tersebut tidak sampai terungkap ke luar, namun karena sudah kelewat batas, akhirnya memancing emosi.

 

Bahkan, perilaku bejat para pejabat Belanda turut memengaruhi moralitas kalangan elite Jawa. Paman Pangeran Diponegoro, sebagaimana dicatat oleh Peter Carey, pernah menulis tentang seorang perempuan asal Blambangan yang diserahkan kepada Sultan Mangkubumi di keraton sebagai hadiah dari Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, yang fasih berbahasa Jawa.

Puncak dari keretakan hubungan Eropa–Jawa terjadi menjelang Perang Jawa, ketika hubungan tersebut berubah menjadi sangat eksploitatif. Ini ditandai dengan penjarahan harta benda Keraton dan pengambilan koleksi perpustakaan pada masa pendudukan Inggris, serta penculikan putri-putri Raden Ayu Kedaton.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement