BANDA ACEH – Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon menghadiri kuliah umum bertajuk “Merawat Kebhinekaan dan Memperkuat Ekosistem Kebudayaan di Era Digital”.
Diskusi yang berlangsung di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh tersebut merupakan rangkaian dari Gerakan Budaya Indonesia (GAYAIN) Aceh 2025, sebuah festival yang memadukan unsur budaya, kuliner, hingga keagamaan untuk mempromosikan kearifan lokal Aceh.
Dalam sambutannya, Menbud Fadli meneguhkan pentingnya melestarikan kearifan lokal, termasuk budaya lokal Aceh. Menurutnya, riset terkait kearifan lokal Aceh bersifat ekstensif, sehingga ada banyak hal yang bisa digali sebagai khazanah pengetahuan dan praktik budaya yang berharga.
“Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, adalah tempat akulturasi budaya yang sangat panjang. Ada banyak budaya Aceh yang terkenal, salah satunya Tari Saman yang diakui UNESCO pada 24 November 2011,” ujarnya.
Lanjutnya, ia mengatakan bahwa salah satu ekspresi budaya dari Aceh yang dapat dikaji lebih dalam adalah material culture atau kebudayaan materi.
“Kemajuan peradaban Aceh salah satunya terlihat dari sisi numismatik. Saya sendiri mengoleksi koin-koin dari Samudera Pasai. Sejak zaman Sultan Ahmad Az-Zahir, putra Sultan Malikus Saleh, koin emas dengan inskripsi sudah dibuat. Tradisi ini berlanjut hingga masa Kesultanan Aceh Darussalam dengan koin berbahan emas, perak, dan timah yang bentuknya lebih maju dibanding kesultanan lain pada masanya. Ini adalah salah satu ekspresi budaya yang luar biasa," ucapnya.
Lebih jauh, Menbud Fadli juga menyebutkan beberapa upaya Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) untuk mengembangkan ekosistem budaya nasional, salah satunya dengan memanfaatkan Cultural and Creative Industry (CCI) melalui wisata museum.
“Di negara-negara maju, museum bisa menjadi sumber pemasukan, misalnya Museum of Modern Art (MoMA) di New York atau Museum Louvre di Paris. Sumber pemasukan museum-museum itu bukan hanya dari penjualan tiket, tapi 50 persen pendapatannya berasal dari penjualan merchandise. Ke depannya, kita bisa mengembangkan inovasi untuk memajukan industri budaya dan kreatif kita,” katanya.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Syiah Kuala, Mustanir menyatakan siap untuk bersinergi dengan Kemenbud untuk memajukan kebudayaan Aceh.
“Aceh memiliki posisi istimewa dalam keberagaman sosial. Kita semua memahami bahwa sejak masa kesultanan, Aceh telah menjadi titik temu berbagai bangsa dan laboratorium kebudayaan yang memadukan nilai-nilai Islami, tradisi lokal, serta keterbukaan terhadap perubahan," ujarnya.
Turut hadir dalam acara tersebut, yakni Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal, Ketua Fraksi Gerindra DPR Aceh Abdurrahman Ahmad, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Dedy Yuswadi, serta Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik Almuniza Kamal.
Hadir untuk mendampingi Menteri Kebudayaan, Direktur Jenderal Pengembangan Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan Ahmad Mahendra, Staf Khusus Menteri bidang Protokoler dan Rumah Tangga Rachmanda Primayudha, Direktur Film, Musik dan Seni Syaifullah Agam, serta Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Piet Rusdi.
Menutup sambutannya, Menbud Fadli menyampaikan pesan kepada seluruh hadirin, terutama para mahasiswa untuk menjadi agen kebudayaan di lingkungan masing-masing. Agen kebudayaan yang dimaksud bukan hanya menjadi praktisi seni, namun juga bisa dilakukan dengan mempromosikan budaya lokal melalui media sosial.
“Tantangan di zaman ini adalah bagaimana kita mempertahankan jati diri dan budaya bangsa di tengah globalisasi. Kita telah memasuki era digital yang membawa lompatan teknologi luar biasa. Untuk itu, saya berpesan kepada mahasiswa dan mahasiswi untuk terus menjadi agen kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi,” tuturnya.
(Agustina Wulandari )