MUNGKIN banyak masyarakat Indonesia saat ini yang tahu, apa yang terjadi pada 18 Maret, 73 tahun yang silam. Yang pasti pada tanggal itu (18 Maret 1942), jadi satu fase besar buat jalannya sejarah di Pulau Sumatera, terutama masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat.
Sebagai catatan, di tanggal itulah bala tentara Jepang secara penuh merebut Kota Padang dan Sumbar secara keseluruhan di masa Perang Asia Timur Raya. Sedianya, Tentara Angkatan Darat (Dai-Nippon Teikoku Rikugun) ke-25, masuk ke Minangkabau pada 13 Maret 1942.
Masuknya Jepang ke Sumbar hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatera lainnya. Dengan cepat, mereka menyapu kantong-kantong pasukan Belanda. Di Padang sendiri, Jepang tak menemui perlawanan berarti dari Belanda.
Setelah penyerahan daerah kekuasaan, komando militer langsung ditempatkan Kolonel Fujiyama di Bukittinggi. Awalnya masyarakat Padang sempat ikut panik, seperti halnya orang-orang Belanda. Tapi dengan propaganda 3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Cahaya Asia, rakyat balik menyambut Jepang.
Terlepas dari sejumlah insiden atau kisah-kisah penderitaan rakyat oleh tentara Jepang, sejatinya perintah utama militer Jepang di Padang, sesuai Undang-undang nomor 1, pasal 1, tahun 1942 – hanya menyelenggarakan pemerintahan militer secara sementara, seperti yang pernah diberitakan surat kabar pada masa itu, Kan Po (1942),:
“Balatentara Nippon melangsoengkan pemerintahan militer sementara waktoe di daerah-daerah jang telah ditempati, agar soepaja mendatangkan keamanan jang sentosa dan segera”.