JAKARTA- Meski tersinggung dengan tuntutan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) melalui pengadilan HAM di Belanda, pemerintah diminta tidak membalas dengan tindakan koersif terhadap orang-orang yang diduga anggota RMS di dalam negeri.
Khususnya penari Cakalele yang ditangkap saat peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang dihadiri Presiden di Lapangan Merdeka, Ambon, 29 Juni 2007, dan aktivis RMS yang ditangkap polisi saat pelaksanaan Sail Banda, September lalu.
Tindakan koersif hanya akan melahirkan dan memperpanjang pelanggaran HAM dan kebencian terhadap pemerintah.
Demikian dikatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.
Haris mengatakan, tuntutan RMS seharusnya disikapi Presiden dengan tindakan hukum lain yang wajar, seperti menunjuk pengacara atau pembela yang kredibel untuk menjawab dan mengikuti proses hukum di Den Haag.
Menurut dia, gugatan hukum di Belanda merupakan salah satu akibat negatif dari serangkaian pembiaran praktik kekerasan oleh pemerintah atau impunitas.
"Oleh karenanya, kami menyarankan Presiden SBY segera merespon gugatan tersebut dengan terlebih dahulu membuat investigasi nasional Indonesia atas dugaan penyiksaan terhadap sejumlah aktivis politik di Maluku," kata Haris kepada wartawan di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (6/10/2010).
Dalam kesempatan yang sama, anggota Kontras lainnya, Choirul Anam, mengatakan kasus tersebut harus menjadi evaluasi dan refleksi tindakan berlebihan Presiden SBY yang terkesan tidak menghormati tindakan hukum yang berlangsung di Belanda.
"Jangan berharap dengan pembatalan ini akan ada intervensi terhadap pengadilan. Itu hal yang muskil, karena jika itu dilakukan akan melanggar independensi pengadilan di negara tersebut. Kita tahu pengadilan di negara maju sangat independen," katanya.
Choirul menambahkan, sangat disayangkan kalau betul kedatangan Presiden ke Belanda adalah untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 batal gara-gara masalah RMS.
"Ini menurut saya blunder dari sisi diplomasi. Kecerobohan dalam konteks diplomasi internasional," katanya.
Di sisi lain, dia juga melihat kasus ini sebagai peringatan bagi pemerintah untuk berhati-hati melakukan pelanggaran HAM atau tidak memproses kasus pelanggaran HAM. Sebab, di banyak negara yurisdiksi kasus pelanggaran HAM berlaku universal sehingga pelaku yang tak diproses di dalam negeri bisa ditangkap saat berada di negara lain.
"Contohnya kasus Timor Leste, serious crime unit mengeluarkan surat permohonan penangkapan terhadap Jenderal Wiranto 19 Maret 2004, atau proses Balibo 1975 yang juga melakukan penangkapan terhadap Sutiyoso," katanya.
(Dede Suryana)