JAKARTA - Tahapan pemungutan suara Pemilihan Presiden di luar negeri diwarnai insiden tidak terakomodirnya aspirasi ribuan WNI yang memiliki hak pilih. Ironisnya, penyebab kekisruhan ini lantaran kurang siapnya pihak panitia penyelenggara pemilu.
"KPU-lah yang membentuk panitia pemilih, untuk itu mereka harus bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi," ujar peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof DR Syamsuddin Harris, Selasa (8/7/2014).
Di Hongkong misalnya, ratusan warga negara Indonesia (WNI) tak bisa mengikuti proses pencoblosan karena tempat pemungutan suara (TPS) sudah tutup. Namun, WNI menduga adanya kecurangan karena mereka yang diketahui memilih calon presiden tertentu diizinkan masuk dan memilih.
Di berbagai negara lainnya, belakangan juga ramai diperbincangkan ratusan WNI tak bisa menyalurkan hak politiknya karena kehabisan surat suara dan berbagai alasan lainnya. Di New York, banyak WNI yang mengantre sejak pagi namun tak diizinkan masuk TPS dengan alasan surat suara habis.
Peristiwa yang cukup mencoreng muka Indonesia di luar negeri (LN) ini tidak hanya dengan sengaja menghalangi hak pemilih. Pada 3 Juli, saksi Jokowi-JK di Arab Saudi ditolak surat mandatnya oleh KPPSLN dengan alasan hanya menerima surat dari Tim Kampanye Nasional (TKN).
"Agar situasi tidak lebih buruk, setiap warga negara di mana pun ia berdomilisi harus diberi hak untuk memilih. Jadi jangan ada alasan teknis dan yang lain, sehingga hak warga negara untuk memilih dihilangkan. Yang belum memilih harus diberi waktu dan kesempatan dalam pemilihan susulan," ujarnya.
(Muhammad Saifullah )