JAKARTA - Praktisi hukum yang turut memperjuangkan dihapusnya pasal penghinaan Presiden pada tahun 2006 silam, Eggi Sudjana, siap pasang badan untuk menolak pengesahan kembali pasal tersebut yang saat ini, sedang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Eggi menilai Jokowi melanggar konstitusi Indonesia jika dia tetap memperjuangkan pasal penghinaan terhadap Presiden yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 134, 136 bis dan 137 dihidupkan kembali, di mana sebelumnya pasal tersebut telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.
"Ini sangat keliru berat jika memaksakan memunculkan pasal ini. Karena sebelumnya jelas sudah dihapus oleh MK," papar Eggi ketika berbincang kepada Okezone, Selasa (4/8/2015).
Menurutnya, Presiden Jokowi lupa bahwa struktur Indonesia merupakan negara Republik bukan Kerajaan, jika memaksakan suatu undang-undang agar dimunculkan kembali setelah dihapuskan.
"Karena negara ini berdasarkan kedaulatan rakyat sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang. Jangan mentang-mentang Presiden, bisa memutuskan sesuatu tanpa berpikir. Di mata hukum semua sama. Itu tertera jelas dalam Undang-Undang RI pasal 27," terangnya lagi.
Tim kuasa hukum Sutan Bhatoegana ini meminta Komisi III DPR RI dan juga masyakarat, untuk menolak pengesahan pasal penghinaan terhadap Presiden tersebut.
"Kita harus turut serta dalam menolak cara pemikiran yang mundur ini. Saya sudah berjuang selama sembilan tahun sampai saat ini. Dengan dicabutnya pasal penghinaan terhadap Presiden itu, saya diadili dulu, tapi sekarang malah dimunculkan lagi, aneh." simpulnya.
Untuk diketahui, dalam pasal penghinaan terhadap presiden itu tertuang dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang isinya berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV"
Kemudian pada pasal 264 berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
(Randy Wirayudha)