Penanganan Teror Bom di Medan Harus Gunakan Sistem Peradilan Pidana Anak

Wahyudi Aulia Siregar, Jurnalis
Senin 29 Agustus 2016 23:34 WIB
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (Okezone)
Share :

MEDAN – Penyidik Polri berencana menjerat IAH (18), tersangka percobaan bom bunuh diri dan penyerangan di Gereja Katolik St Yosep, Jalan Dr Mansur, Medan pada Minggu, 28 Agustus 2016 kemarin, dengan pasal berlapis.

Di antaranya pasal tersebut yakni Undang-Undang Terorisme, Pasal Undang-Undang Darurat, serta Pasal 340 KUHPidana subsider Pasal 338 KUHPidana.

Namun penerapan pasal-pasal itu dinilai kurang ideal, khususnya terkait status tersangka yang anak-anak.

“Seharusnya dilihat, kalau dia masih anak-anak, harus digunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bisa saja dikaitkan dengan pidana terorisme, tapi harus dilihat bahwa ini anak-anak,” ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, Senin (29/8/2016).

 

“Di undang-undang tentang terorisme memang tidak disebutkan khusus soal anak. Tapi karena dia memang anak, sistem peradilan pidana anak yang harus digunakan. Undang-Undang tentang sistem peradilan pidana anak itu spesialis untuk melindungi anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana,” tambahnya.

Melihat Pasal yang saat ini dijeratkan penyidik Polri, maka tak mungkin tersangka mendapatkan hukuman maksimal. Namun Arist menegaskan bahwa dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, tersangka hanya bisa dihukum maksimal 10 tahun penjara.

“Jadi tidak ada hukuman mati untuk anak. Kasus ini beda dengan pidana terorisme lainnya. Ini harus jadi perhatian polisi dalam menyelidiki kasus ini,” tandasnya.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya