COX'S BAZAR - Para pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak percaya dengan janji pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi yang akan menegakkan HAM dan mengizinkan para pengungsi pulang. Alih-alih menyambut janji Suu Kyi, mereka justru menyebut peraih Nobel Perdamaian itu sebagai seorang pengkhianat.
Suu Kyi telah mengakhiri “masa diam”-nya atas kekerasan di negara bagian Rakhine atau Arakan yang dialami warga etnis muslim Rohingya. Dalam pidatonya kemarin, Suu Kyi mengecam semua pelanggaran HAM di Rakhine.
Dalam pidato yang dia sampaikan dari Ibu Kota, Myanmar, Naypyitaw, Suu Kyi memperingatkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran di Rakhine akan menghadapi konsekwensinya.
(Baca juga: 6 Poin Pidato Suu Kyi Soal Rohingya, Cek Mana yang Benar)
Sekitar 420.000 warga Rohingya telah eksodus ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tindakan keras militer Myanmar. Junta militer negara itu melakukan operasi besar-besaran sebagai respons atas serangan gerilyawan Rohingya terhadap puluhan pos polisi dan markas tentara yang menewaskan 12 petugas pada 25 Agustus lalu.
Dalam praktiknya, militer Myanmar dianggap bertindak brutal terhadap warga sipil Rohingya. Menurut para pengungsi dan aktivis, militer telah melakukan pembantaian dan pembakaran terhadap ratusan desa yang dihuni warga Rohingya.
Suu Kyi mengatakan, pemerintahnya siap untuk memulai proses verifikasi setiap saat untuk memulangkan pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di Rakhine.
“Saya ingin pulang jika saya mendapat kepastian atas hak-hak dasar saya. Tapi sulit bagi saya untuk percaya bahwa Suu Kyi akan bertindak berdasarkan kata-katanya,” kata, Khairul Amin (40), pengungsi di kamp Balukhali, kepada Al Jazeera, Rabu (20/9/2017).
(Baca juga: Angkat Bicara Soal Rohingya, Suu Kyi: Kami Juga Prihatin)
“Suu Kyi adalah pengkhianat. Mayoritas Rohingya memilih partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dengan janji bahwa dia akan memberi kami kartu identifikasi nasional,” lanjut dia.
“Tapi begitu dia menang, dia bergabung dengan partai yang didukung tentara (USDP) dan melupakan kami.”
Sultan Ahmed (80), pengungsi di kamp Balukhali merasa tidak ada artinya lagi meski diizinkan pulang ke Rakhine.
“Saya kehilangan segalanya. Apa artinya pulang?,” ujarnya. “Suu Kyi adalah pengkhianat, kami tidak bisa mengandalkan kata-katanya,” lanjut dia.
(Qur'anul Hidayat)