JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menduga masuknya delik tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Bahwa UU Tipikor yang sudah berlaku selama ini sudah tegas mengategorikan korupsi sebagai pidana khusus," ujar Lucius saat dihubungi Okezone, Jumat (8/6/2018).
Korupsi, kata dia, merupakan kejahatan luar biasa. Karenanya, dibutuhkan regulasi khusus untuk menegaskan sifat kejahatan korupsi melalalui UU Tipikor.
"Dengan pertimbangan itu, maka keinginan DPR untuk mengatur pidana korupsi di dalam RKUHP memang perlu dikhawatirkan," jelas Lucius.
Dengan masuknya delik tipikor dalam RKUHP, itu memungkinkan pemberantasan korupsi menjadi terdegradasi atau merosot lantaran menjadi pidana umum seperti kejahatan lainnya. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dibutuhkan regulasi khusus untuk mengaturnya.
"Jika korupsi dikategorikan sebagai pidana umum, maka sangat mungkin itu menjadi alasan bagi DPR untuk selanjutnya memutuskan bahwa korupsi tak lagi perlu dianggap sebagai kejahatan luar biasa," tuturnya.
KPK telah lima kali mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapuskan delik korupsi dalam RKUHP. Namun, surat tersebut belum pernah dibalas Kepala Negara.
Di sisi lain, Ketua Tim Perumus RKUHP, Muladi, menegaskan tidak ada pasal di RKUHP yang mengebiri KPK. Terkait Pasal 729 yang menjadi permasalahan KPK, dijelaskan Muladi, pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa KPK mempunyai kekhususan untuk tetap melaksanakan atau berpacu pada Undang-Undang KPK.
(Rachmat Fahzry)