MENGURANGI dampak penurunan tanah, khususnya bagi warga yang tinggal di tepi laut, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman (APERSI) mendesak pemerintah untuk mengurangi izin mendirikan bangunan di pinggir laut.
Hal ini terkait dengan prediksi Jakarta Utara akan tenggelam pada 2050. Berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), di Jakarta Utara setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25cm.
Ketua Dewan Pertimbangan APERSI, Eddy Ganefo, menyatakan jika pemerintah tidak membatasi, maka rekan-rekannya sesama pengembang akan terus membangun, karena di mata mereka, "selama bisa jualan, laku, pengembang akan jalan terus".
"(Kami) Pengembang, di awal membangun kan tidak melihat ada masalah. Tapi kalau terjadi penurunan (tanah) dalam jangka panjang, ya harus dibatasi."
(Baca juga: Jakarta Utara 'Tenggelam' 2050: Gedung Amblas, Tanggul Bobol dan...)
Eddy menyebut rekan-rekan pengembangnya yang memiliki proyek di pantai utara Jakarta, biasanya menjadikan air laut yang disuling menjadi air tawar sebagai sumber air bersih. "Ada teknologinya".
Meski mengklaim tidak menggunakan air tanah, Eddy menekankan pembatasan pembangunan perumahan di pinggir laut penting, karena terdapat praktik 'kurang terpuji' yang dilakukan rumah-rumah tersebut.
"Katakanlah di daerah-daerah arah ke Ancol, misalnya. Ada perumahan-perumahan besar. Mereka sudah ada teknologi yang membuat air rob yang masuk, bisa dipompa keluar.
"Air yang dipompa keluar ini tidak akan balik lagi ke mereka, tetapi (rob) masuk ke kawasan lain di sekelilingnya yang tidak menggunakan teknologi tersebut," akunya.
Sanksi Anies 'salah kaprah'?
Walau tidak mau berkomentar soal usulan pembatasan izin mendirikan bangunan di pinggir laut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sadar bahwa penurunan permukaan tanah di provinsi yang dikelolanya adalah karena pengambilan air-tanah dalam berlebihan.
Sejak pertengahan Maret 2018 Anies dan timnya menginspeksi puluhan gedung, dimulai dari gedung-gedung bertingkat di sepanjang jalan protokol Sudirman dan Thamrin.
Dari inspeksi awalnya di jalan Sudirman dan Thamrin, Anies menemukan 56 gedung memiliki sumur pengambilan air tanah dengan kedalaman lebih 200 meter. Sebanyak 33 di antaranya ilegal; tidak memiliki izin atau sudah habis masa berlakunya.
Selain itu, dari total 80 gedung, 37 gedung belum memiliki sumur resapan, atau sumur resapannya tidak berfungsi. "Seringkali kita hanya melihat pelanggaran yang terlihat mata, yang rakyat kecil lakukan, yang ini, pelanggaran yang membuat permukaan tanah turun, jarang diperhatikan... Ini bukan pelanggaran yang sifatnya kebutuhan, tetapi karena keserakahan," kata Anies.
Gubernur pun menjatuhkan sanksi. Bagi gedung pelanggar yang dalam sebulan tidak mengurus izin sumur air-tanah dalam dan membuat sumur resapan, maka sertifikat laik fungsi (LSF) gedung akan dicabut, "dan izin operasional pada semua yang ada di gedung juga bisa dicabut."
Namun hingga Juli 2018, sanksi tegas belum dijatuhkan. Sedikitnya lima gedung yang izinnya belum beres, masih diberi waktu hingga akhir Juli untuk membuat sumur resapan dan mengurus izin.
Selain itu, semangat yang diusung Anies lebih agar pengambilan air tanah dapat dimonitor. "Kalau tanpa izin, kita tak bisa tahu berapa air yang diambil. Bayar pajaknya kita juga tidak tahu. Tapi kalau izinnya ada, kita bisa lakukan monitoring dan bisa tahu berapa banyak air yang digunakan."
Anies pun menekankan pengambilan air tanah tetap bisa dilakukan jika gedung memiliki izin.
Heri Andreas mengungkapkan upaya yang dilakukan Anies itu tidak cukup. "Jika ingin penurunan tanah berhenti, gedung-gedung dan rumah-rumah di Jakarta harus benar-benar berhenti mengambil air-tanah dalam dan beralih mencari sumber air bersih lain".
Anies tidak sependapat. Menurut sang gubernur "persoalannya bukan tentang air tanah atau tidak, tetapi apakah kita mengambil air tanah dengan benar dan mengembalikannya dengan benar."