Ditekankan Anies, jika pengambilan air tanah dilengkapi sumur resapan air yang sudah punya teknologi pengolahan, maka air tanah akan dapat dikembalikan ke tanah, sehingga penurunan permukaan tanah tidak terjadi. "Karena itu, sumur resapan ini penting."
Namun, doktor geodesi ITB, Heri Andreas, menyebut solusi Anies tersebut "salah kaprah". Pasalnya sumur resapan yang ada di Jakarta hanya dapat mengembalikan air ke sumber air tanah dangkal, "yang kedalamannya hanya beberapa meter, atau beberapa puluh meter saja".
Alhasil, sumur resapan, dikatakan Heri tidak akan mengganti air tanah dalam, sehingga upaya yang dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta itu, "sama sekali tidak mempengaruhi dan mencegah penurunan permukaan tanah".
Menurutnya, air-tanah dalam bisa dikembalikan ke sumbernya, dengan menggunakan metode artificial recharge, di mana air disuntikkan kembali ke sumber air-tanah dalam. "Tetapi teknologi ini sangat mahal, miliaran rupiah, dan belum ada satu pun di Jakarta yang melakukan."
Heri menyarankan pemerintah Jakarta untuk meniru apa yang dilakukan Tokyo. Ibukota Jepang itu sebelum tahun 1975, juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah.
"Tokyo benar-benar menghentikan penggunaan air tanah. Tidak ada lagi gedung yang diperbolehkan mengambil air tanah." Dengan menerapkan kebijakan itu sejak tahun 1975, penurunan permukaan tanah di Tokyo pun berhenti.
(Qur'anul Hidayat)