Masa Depan Brexit dan Wacana Referendum Jilid II

Opini, Jurnalis
Rabu 23 Januari 2019 14:24 WIB
Ilustrasi (Foto: Reuters)
Share :

Ini mulai meruntuhkan bagaimana wacana yang digulirkan oleh populisme bahwa keluarnya Britania raya akan membuatnya lebih diuntungkan. Meskipun argumen yang digulirkan pada waktu itu bahwa keluarnya Britania raya akan membuat mereka bisa mengelola kebijakannya sendiri terdengar sangat logis, namun, selama 43 tahun Britania Raya bergabung, mereka telah menjelma menjadi satu kekuatan utama di benua biru bersama Jerman dan Prancis dengan London yang membawa daya tarik bagi wisatawan asing dan investor.

Kaum populis tidak mengetahui sulitnya proses untuk keluar dari Uni Eropa. Mereka seakan ingin mengembalikan Inggris pada periode konser Eropa dimana Britania Raya menjadi kekuatan yang begitu besar tanpa ada intervensi pihak luar. Terlebih, selama menjadi anggota, mereka telah melakukan banyak hal serta semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Walaupun Uni Eropa menyediakan mekanisme untuk keluar dari keanggotaan, tetapi nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan ditambah waktu hanya menyisakan tiga bulan lagi.

Populisme diambang kegagalan? 

Melihat hal ini , rasanya tidak mungkin jika kaum populis dan Brexiters tidak berusaha lebih keras untuk mensukseskan rencananya untuk keluar dari Uni Eropa. Gagasan untuk keluar memang digulirkan oleh para penganut populisme ini yang menginginkan adanya independensi untuk mengatur kebijakannya. Bagi mereka, Uni Eropa telah menghilangkan kedaulatan Britania Raya untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Adanya peraturan bersama membuat Inggris raya harus mengadaptasinya dalam peraturan domestik.

Namun, kaum populis mungkin tidak memikirkan gambaran besar dan bagaimana implikasinya terhadap Inggris raya secara utuh. Dengan kata lain, keputusan ini adalah sebuah keegoisan belaka yang hanya berdasarkan perasaan dan emosi semata tanpa pertimbangan rasional yang matang. Kita ingat bahwa fenomena brexit menjadi salah satu turning point bagi perkembangan populisme di negara lain seperti Prancis dan menjadi ‘kiblat’ untuk melakukan hal yang sama. Patut untuk dipikirkan, apa yang akan terjadi jika Brexit gagal dicapai dan Britania tetap terikat dalam konsensus bersama Uni Eropa? Ini bisa berefek domino pada perkembangan populisme di negara lain dan penegasan bahwa interdependensi memang sebuah keniscayaan untuk kemajuan negara terutama ekonomi.

Lalu apa selanjutnya? 

Hari senin 21 Januari 2019 Theresa May mengajukan proposal rencana cadangannya setelah berkonsultasi dengan partai yang ada di parlemen. Rencana ini kemungkinan akan menjadi penentuan terhadap keberlangsungan perjanjian Brexit selama ini. Jika ini berhasil, tentunya masih ada proses negosiasi antara Britania Raya dengan Uni Eropa yang juga tidak dapat dipastikan hasilnya seperti apa. Namun, jika gagal, menurut penelitian akan ada dua skenario yang kemungkinan akan dilakukan.

Pertama, Referendum Jilid II, Referendum ini menjadi suatu aksi yang akan dilakukan oleh Britania Raya. Jeremy Corbyn sebelumnya memang mewacanakan seperti itu, namun masih menunggu bagaimana rencana kedua akan menghasilkan kepuasan di parlemen. Jika tidak, keputusan akan dibalikkan oleh suara rakyat melalui referendum. Meskipun begitu, kita tidak mengetahui secara pasti pilihan yang akan diberikan kepada masyarakat.

Kedua, Meminta waktu tambahan. Aksi ini mungkin merupakan aksi logis yang akan dilakukan oleh pemerintahan Inggris. Dengan tenggat waktu menyisakan tiga bulan dan situasi politik yang sangat panas serta masih belum menemui kesepakatan, perpanjangan waktu mungkin akan diajukan kepada Uni Eropa, namun hanya dalam kondisi tertentu seperti pemilihan umum ataupun referendum. Mereka tidak ingin jika suspensi diajukan tanpa ada hasil yang konkret.

Dapat disimpulkan bahwa parlemen Inggris Raya memiliki peran yang signifikan dalam hal ini. Misalnya rencana cadangan yang digagas oleh Perdana Menteri disetujui pada tanggal 29 Januari 2019, Theresa May harus melakukan negosiasi kembali dengan Uni Eropa yang menunggu dengan cukup sabar terhadap perkembangannya. Hasil akhirnya masih belum bisa diprediksi. Kalaupun tidak disetujui oleh parlemen nanti, referendum jilid II bukan tidak mungkin akan digulirkan dalam waktu dekat.

Oleh: Rizky Ridho Pratomo (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta) 

(Arief Setyadi )

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya