Di Amerika Serikat, misalnya, mekanisme penyadapan, kecuali untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan keamanan negara, selalu digunakan sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya kejahatan. Sebab apabila penyadapan hanya dimaksudkan untuk menjerat dan menghukum, maka kita akan overload dan beban negara pun semakin besar, padahal tujuan kita berhukum itu bukan untuk menyengsarakan tetapi untuk membahagiakan dan mendidik masyarakat untuk taat pada aturan negara.
Kasus Irman Gusman ini bisa dikatakan aneh bin ajaib, karena uang yang dianggap sebagai suap itu bukan berasal dari APBN tetapi dari perusahaan swasta sehingga negara tidak dirugikan. Malah Irman yang tidak pernah menikmati uang Rp100 juta itu harus membayar denda Rp200 juta sementara biaya negara yang dikeluarkan dalam menangani kasus ini jauh lebih besar dari uang yang disita oleh KPK itu.
Agar supaya keanehan dan distorsi hukum seperti ini tidak terjadi lagi, maka saya usulkan agar penegak hukum melakukan hijrah, beralih dari menegakkan hukum berdasarkan criminal justice approach ke inclusive justice approach agar dapat mempertimbangkan berbagai norma lain yang berlaku dalam masyarakat selain norma hukum, yaitu norma keadilan sesuai ajaran agama, norma budaya, norma moral dan etika, kebenaran dan kejujuran dalam menegakkan hukum.
Sebab hanya dengan menegakkan hukum secara inclusive maka kita dapat menemukan keadilan yang lahir dari kejujuran dan integritas penegak hukum sebagai teladan bagi masyarakat.
Guru Besar Hukum dan Direktur Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof. Jawahir Thontowi, SH, PhD.
(Awaludin)