KORUPSI di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Istilah "kejahatan luar biasa" ini sendiri belum merupakan ketentuan undang-undang, tetapi baru sebatas persepsi; bahkan dalam hukum Internasional pun korupsi tidak termasuk dalam kategori extraordinary crime, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta Roma yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.
Jenis kejahatan yang dianggap luar biasa, sesuai Statuta Roma, adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Korupsi tidak termasuk dalam jenis kejahatan yang dianggap luar biasa oleh Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam konteks Indonesia, sejak reformasi bergulir pada 1998, korupsi dipersepsikan sebagai kejahatan luar biasa yang diwariskan dari masa lalu sehingga penindakannya pun dilakukan secara luar biasa oleh institusi pemberantasan korupsi yang juga luar biasa kewenangan dan cara tindaknya.
Masyarakat sudah terlanjur menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi sangat besar, bahkan tanpa mempertimbangkan lagi azas due process of law serta presumption of innocence. Siapa pun yang diduga melakukan korupsi akan langsung divonis masyarakat sebagai koruptor, bahkan sebelum dilakukan persidangan.
Persepsi demikian sering menjadi faktor penekan yang amat berat bagi majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara korupsi, sehingga sulit bagi hakim untuk mengelak atau membebaskan terduga koruptor meskipun ketika tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup kuat untuk menghukumnya.
Karena sidang pengadilan tindak pidana korupsi selalu berada di bawah tekanan publik maka sulit pula bagi hakim untuk memutus perkara secara independen, bahkan disinyalir ada pula hakim-hakim yang sebetulnya ingin membebaskan terdakwa kasus korupsi tapi takut pada tekanan publik atau pun tekanan dari atasannya.
Dalam kondisi seperti ini, sulit bagi para terdakwa untuk menemukan keadilan yang sesungguhnya sebab sebelum proses persidangan dirampungkan pun dirinya sudah digiring untuk masuk penjara. Apakah praktik semacam ini dibenarkan menurut azas-azas penegakan hukum yang sesuai dengan hukum Internasional? Yang perlu diingat adalah bahwa hukum nasional tidak independen melainkan tunduk pada hukum Internasional sebab Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas Internasional.
Dalam huruf (e) Pasal 7 Statua Roma di bawah judul Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dilarang melakukan “Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum Internasional.”
Hukumnya menyebutkan bahwa seseorang yang diduga melakukan kejahatan “wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya dalam persidangan yang dilakukan secara jujur dan adil.” Ini adalah azas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sejalan dengan Pasal 8 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Bahkan dalam butir (2) Pasal 55 Statuta Roma disebutkan bahwa orang yang diperiksa mempunyai hak “Untuk diberi tahu, sebelum diperiksa, bahwa ada alasan untuk percaya bahwa ia telah melakukan suatu kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah.”
Dengan ketentuan-ketentuan hukum Internasional di atas, saya mencoba menelaah proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan kasus mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, sebagai bahan pembelajaran untuk menegakkan hukum secara berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sesuai tema Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 29 Desember 2018 dan acara Bedah Buku Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman yang diadakan pada 22 Januari 2019 di UII.
Proses penangkapan Irman Gusman pada 16-17 September 2016, tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Ia ditangkap tanpa surat penangkapan, bahkan surat penangkapan yang dibawa petugas KPK malam itu atas nama orang lain yang sebetulnya sudah dihukum sebagai tahanan kota di Padang. Hal ini berlawanan dengan Pasal 7 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Menurut penasihat hukum Dr. Maqdir Ismail, ketika Irman harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan oleh karena itu tidak bersedia diperiksa, penyidik KPK menetapkan bahwa Irman membangkang. Padahal Pasal 67 Statuta Roma tentang Hak-Hak Tertuduh menyebutkan bahwa seseorang “Tak boleh dipaksa untuk bersaksi atau untuk mengaku bersalah dan untuk tetap diam, dan kebungkaman atau sikap diam tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai suatu pertimbangan dalam penentuan kesalahan atau tidak bersalah.”
Dalam banyak kasus kita menemukan bahwa penegak hukum sering memaksa targetnya untuk mengaku salah di luar kehendaknya. Dalam kasus Irman Gusman, putusan hakim bahkan memvonis bahwa Irman “tidak mengakui kesalahannya secara terus terang” padahal ungkapan demikian menunjukkan bahwa hakim ingin menggiring orang yang merasa diri tak bersalah untuk mengaku bersalah.
Satu kejanggalan lain yang saya temukan dalam kasus Irman Gusman adalah adanya putusan hakim yang melebihi dakwaan jaksa. Sesuai ketentuan undang-undang, hakim tidak dibenarkan memutus apa yang tidak didakwakan jaksa, karena harus menggali kebenaran dari setiap fakta persidangan sesuai UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 74 Statuta Roma di bawah judul Syarat-Syarat Pengambilan Keputusan menyebutkan bahwa putusan hakim “tidak boleh melebihi fakta-fakta dan keadaan yang digambarkan dalam tuduhan dan setiap amendemen terhadap tuduhan tersebut.”
Hakim dalam amar putusannya menyebutkan bahwa Irman terbukti bersalah memperdagangkan pengaruhnya atau mempengaruhi Kepala Bulog untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Padahal tuduhan tentang perdagangan pengaruh itu sama sekali tidak didakwakan oleh jaksa, sementara perdagangan pengaruh (trading in influence) meski sudah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 2006 belum dijabarkan ke dalam pasal-pasal sanksi pidana, baik dalam UU Tipikor maupun dalam KUHP.
Apalagi, dasar hukum yang digunakan hakim adalah Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor yang mencantumkan hukuman bagi pejabat negara yang menerima sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya atau berlawanan dengan tugasnya. Jabatan Ketua DPD RI tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan distribusi gula yang merupakan kewenangan Bulog.
Kenapa kerancuan seperti ini sering terjadi dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi? Jawaban saya sederhana, yaitu karena hukum di negeri kita hanya menggunakan kacamata kuda, hanya menggunakan teks-teks yang mati itu tetapi hakim gagal menghidupkan aturan tertulis itu dalam konteks yang lebih luas yang saya namakan paradigma hukum inklusif.
Dalam paradigma hukum inklusif, harus dipertimbangkan semua aspek keadilan dalam mengadili perkara, termasuk rekam jejak tertuduh. Apakah orang itu memang sudah terbiasa melakukan korupsi seperti yang dapat dilihat dari rekam jejaknya? Juga aspek mens rea atau niat jahat. Apakah seseorang yang dituduh melakukan korupsi itu benar-benar mempunyai niat jahat hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain?
Dalam kasus Irman Gusman, saya tidak melihat adanya mens rea. Malah sebaliknya, sebab awal kasus ini adalah justru niat baik Irman untuk menurunkan harga gula yang melambung tinggi di Sumatera Barat. Niat baik seperti ini ternyata tidak dipertimbangkan dalam persidangan, sehingga penegakan hukum hanya berurusan dengan mencari kesalahan orang, tetapi jasa-jasa orang tidak dianggap sama sekali.
Azas due process of law pun tidak diindahkan, mulai dari penggelaran konperensi pers yang mempermalukan Irman dan keluarganya sampai digugurkannya upaya pra-peradilan dan penetapan hukuman tambahan yang tidak sesuai dengan azas hukum yang benar. Hukuman tambahan terhadap Irman yaitu pencabutan hak politiknya selama tiga tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokoknya selama 4 tahun 6 bulan itu bertentangan dengan Pasal 38 KUHP yang mengatakan bahwa hukuman tambahan dihitung mulai sejak pidana pokok diberlakukan.
Catatan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah penggunaan mekanisme penyadapan oleh KPK untuk menjerat targetnya. Penyadapan semestinya bisa digunakan sebagai alat preventif guna mencegah terjadinya tindak kejahatan. Tapi yang terjadi justru instrumen pencegahan ini tidak digunakan untuk mencegah malah untuk menjerat dan menghukum.
Di Amerika Serikat, misalnya, mekanisme penyadapan, kecuali untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan keamanan negara, selalu digunakan sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya kejahatan. Sebab apabila penyadapan hanya dimaksudkan untuk menjerat dan menghukum, maka kita akan overload dan beban negara pun semakin besar, padahal tujuan kita berhukum itu bukan untuk menyengsarakan tetapi untuk membahagiakan dan mendidik masyarakat untuk taat pada aturan negara.
Kasus Irman Gusman ini bisa dikatakan aneh bin ajaib, karena uang yang dianggap sebagai suap itu bukan berasal dari APBN tetapi dari perusahaan swasta sehingga negara tidak dirugikan. Malah Irman yang tidak pernah menikmati uang Rp100 juta itu harus membayar denda Rp200 juta sementara biaya negara yang dikeluarkan dalam menangani kasus ini jauh lebih besar dari uang yang disita oleh KPK itu.
Agar supaya keanehan dan distorsi hukum seperti ini tidak terjadi lagi, maka saya usulkan agar penegak hukum melakukan hijrah, beralih dari menegakkan hukum berdasarkan criminal justice approach ke inclusive justice approach agar dapat mempertimbangkan berbagai norma lain yang berlaku dalam masyarakat selain norma hukum, yaitu norma keadilan sesuai ajaran agama, norma budaya, norma moral dan etika, kebenaran dan kejujuran dalam menegakkan hukum.
Sebab hanya dengan menegakkan hukum secara inclusive maka kita dapat menemukan keadilan yang lahir dari kejujuran dan integritas penegak hukum sebagai teladan bagi masyarakat.
Guru Besar Hukum dan Direktur Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof. Jawahir Thontowi, SH, PhD.
(Awaludin)