JAKARTA - Perdebatan pada debat keempat Pilpres 2019 antara kedua calon presiden (capres), Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, yang berlangsung Sabtu lalu menyita banyak perhatian. Terutama mengenai salah satu tema debat, pertahanan dan keamanan (hankam), yang mengerucut pada adu opini antara Jokowi yang berlatar belakang sipil, dengan Prabowo yang merupakan mantan jenderal bintang tiga TNI AD mengenai anggaran hankam, industri militer, dan konsep strategis menjaga kedaulatan negara.
Menurut mantan Komandan Korps Marinir (Dankomar), Mayor Jenderal TNI Mar (Purn) Djoko Pramono, yang menyaksikan debat sejak awal hingga tuntas menilai ada nilai plus dan minus dari kedua kandidat presiden dalam membahas isu-isu seputar hankam.
(Baca Juga: Cak Nun: People Power Tak Akan Berhasil di Era Sekarang)
Ia berpandangan, Jokowi sebagai petahana yang pasti mendapat masukan dari para menteri atau pejabat berlatar belakang militer punya kelebihan dan kekurangan dalam menjelaskan visi-misi di bidang hankam. Sementara, Prabowo yang lebih banyak bertugas di lapangan semasa aktif di TNI, dianggap perlu lebih banyak mengembangkan wawasan dan langkah strategis karena ancaman hankam terkini sudah lebih beragam sesuai dengan perkembangan zaman dan tehnologi.
"Kelebihan Pak Jokowi terletak pada kebijakan memprioritaskan industri pertahanan yang sangat tepat dan strategis. Kita harus menuju dan membangun industri pertahanan yang lebih kuat demi memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Sebenarnya, kita sudah mulai dari dulu, namun masih kecil-kecil. Kini sudah menjadi prioritas sehingga kita punya industri alutsista (alat utama sistem pertahanan) seperti pindad, kapal perang, kapal selam, tank, dan juga peluru. Akan terjadi pula transfer tehnologi jika kita memiliki industri pertahanan yang bagus," ujar mantan jenderal bintang dua ini dalam keterangannya, Rabu (3/4/2019).
Bicara anggaran pertahanan, mantan Inspektur Jenderal TNI AL ini mengakui bahwa porsi 0,8% dari APBN, atau senilai Rp110 triliun masih tergolong kecil. Apalagi, jika dibandingkan dengan anggaran pertahanan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan Asia.