DARI dulu hingga kini sepeda termasuk salah satu alat transportasi yang murah. Tanpa harus dijejali beragam teknologi kelas wahid, sepeda bisa membantu perjalanan manusia. Pada jarak pendek, sepeda memang bisa jadi pilihan yang favorit. Selain murah, juga bisa menyehatkan raga di penggunanya.
Bahkan bukan cuma itu, karena tidak menyandang mesin, sepeda diakui sebagai alat angkut yang sangat ramah lingkungan. Bebas polisi dan nyaman untuk dikendarai. Itu sebabnya sepeda tetap mendapat tempat dalam kehidupan sehari-hari.
Dilansir dari Ensiklopedia Jakarta, sebelum teknologi berkembang pesat, sepeda di masa tempo dulu sempat menjadi andalan di Indonesia. Kendaraan ini berperan penting dalam membantu pekerjaan sehari-hari. Dulu bahkan para bangsawan sangat bangga jika pergi berkeliling mengecek kecubn atau tanah dengan sepeda. Di saat libur, mereka pun melancong bersama sang kekasih, juga naik sepeda.
Layaknya mobil pada masa kini, dulu sepeda ikut menentukan “derajat” kehidupan seseorang. Buktinya, sepeda bermerek papan atas, seperti BSA, Bumber, Rudge, Raleigh, dan lainya disimbolkan sebagai kendaraan kaum priyayi dan tuan tanah. Merek itu pun identik dengan status kekuasaan dan dikenal dengan bangsa penjajah.
(Baca juga: Sepeda Onthel, dari Gaya Hidup hingga Penopang Ekonomi)
Namun waktu bergulir dengan cepat seolah melindas masa “kejayaan” sepeda. Masuknya kendaraan bermesin, membuat sepeda ditinggalkan. Para priyayi tadi mulai mengalihkan pandangan pada alat angkut modern seperti motor atau mobil. Akibatnya, sepeda tak lagi menjadi “simbol” bagi kehidupan seseorang. Justru kendaraan jenis ini makin akrab dengan kehidupan yang sederhana.
Meski begitu, citra sepeda pada masa lalu itu masih tertanam dalam ingatan. Bagi yang ingat, sepeda lawas mendapat tempat tersendiri. Sepeda menjadi benda koleksi yang sangat bernilai. Alasan mereka rata-rata sama, ada banyak kenangan manis yang teramat sayagn bila dibiarkan berlalu begitu saja. Layaknya barang antik, makin tua nilai historis yang disandang sepeda makin berisi.