Demo Berjilid-jilid, Apakah Tanda Puber Politik?

Taufik Budi, Jurnalis
Sabtu 29 Juni 2019 09:30 WIB
Ilustrasi aksi demonstrasi. (Foto: Okezone)
Share :

SEMARANG – Pendapat umum yang dituangkan dengan aksi demonstrasi dinilai wajar dalam sistem demokrasi. Akhir-akhir ini aksi unjuk rasa kerap dilakukan kelompok masyarakat hingga berjilid-jilid untuk menyuarakan tuntutannya.

"Demonstrasi di dalam demokrasi itu hal yang biasa. Justru kalau tidak ada demonstrasi tidak ada pendapat umum, tidak ada pendapat masyarakat, justru demokrasi itu adalah alat yang bisa dipakai untuk mengontrol pemerintahan, mengontrol lembaga-lembaga peradilan," ujar pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip), Teguh Yuwono, Kamis 27 Juni 2019.

(Baca juga: Mulailah Saling Merangkul)

"Jadi sebetulnya demo tidak masalah, demo di KPU (Komisi Pemilihan Umum), MK (Mahkamah Konstitusi), kepolisian, atau menteri, presiden, tetapi demo itu harus memenuhi aturan-aturan yang demokratis. Misalnya tidak boleh mengganggu kepentingan umum, demo tidak boleh anarkis, merusak, mengganggu aktivitas orang awam, tidak boleh mengganggu orang takut, tidak boleh membuat suasana mencekam," jelas Teguh.

Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro itu juga menyoroti ribuan masyarakat yang turun ke jalan untuk mengawal jalannya persidangan MK dalam mengadili sengketa hasil Pilpres 2019. Perhatian masyarakat tersedot pada pilpres sejak beberapa bulan terakhir, hingga sempat terbelah akibat perbedaan pilihan.

(Baca juga: Pasca-Putusan MK, Semua Pihak Harus Merajut Kembali Persatuan)

"Puber politik atau intens politik itu kan naik-turun. Pas naik, dia akan naik, dia akan terus berinteraksi. Tapi ketika biasa, dia normal. Sekarang ini eskalasinya naik, karena ada keputusan-keputusan penting yang harus dikawal. Misalnya ini ada pengumuman MK, sebelumnya pengumuman KPU. Kalau pengumuman-pengumuman dalam konteks pilihan-pilihan politik dan coblosan pasti eskalasinya naik," beber dia.

"Tapi kalau pengumuman kabinet kan tidak ada demo, pengumuman direktur BUMN tidak ada demo. Tapi begitu misalnya pengumuman siapa yang kalah dalam pemilihan kepala daerah, siapa yang menang dalam pilpres itu berdimensi karena orang melibatkan emosi, pengetahuan, dan perasaan," jelasnya.

Teguh menilai fenomena puber politik biasanya ditandai dengan penggunaan perasaan atau emosionalitas yang tinggi, seiring eskalasi politik yang meninggi terkait keputusan-keputusan politik yang dianggap akan menentukan banyak hajat hidup masyarakat.

"Orang puber kan seperti itu. Orang puber kadang-kadang bermainnya feeling daripada rasionalitas. Oleh karena itu, saya kira eskalasi naik yang begitu intens menjelang pilihan-pilihan politik diumumkan. Ketika ada putusan krusial," tambahnya.

Teguh mengingatkan, setiap kalangan untuk tetap taat pada aturan hukum meski mendapat kebebasan mengutarakan pendapat. Apalagi, sengketa pemilu yang berujung di MK keputusannya bersifat final dan mengikat. Artinya, semua pihak harus patuh kepada putusan, sehingga tidak akan berubah meski mendapat protes atau gelombang unjuk rasa.

"Kita harus ingat keputusan MK itu final dan mengikat. Apa artinya final dan mengikat? Jadi ketika MK sudah memutuskan yang menang, misalnya nomor ini, ya itu akan segera dilantik menjadi presiden di bulan Oktober. Berarti ya sudah legitimate siapa pun yang menolak keputusan lembaga resmi itu berhadapan dengan aparat negara. Ini saya kira yang harus diingatkan kepada para demonstran, karena demo juga ada batasnya," tandas dia.

(Hantoro)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya