Namun dia menyayangkan banyak dari kasus-kasus percobaan perkosaan ini yang tidak ditindaklanjuti.
"Karena kadang penyintasnya berpikir 'Aduh, tidak usah ditindaklanjuti, kita saja makan susah, apalagi mau baku urus dengan polisi," ujar Soraya.
Konstruksi Huntara yang responsif gender
Situasi kerentanan yang dialami anak dan perempuan penyintas bencana ini dipahami oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir mengatakan langkah yang bisa dilakukan adalah, salah satunya, memperbaiki konstruksi bangunan di pengungsian, agar lebih 'responsif gender'.
"Seharusnya konstruksi Huntara responsif gender. Karena ketika satu bilik itu kemudian tidak tersekat itu kemudian agak rentan karena kemudian anak-anak bebas melihat aktivitas siapa pun di dalamnya."
"Kemudian pemisahan toilet antara perempuan dan laki-laki untuk mencegah hal-hal seperti itu," jelas Ihsan.
Lebih jauh, Ihsan mengungkapkan, saat ini pemerintah daerah sudah membuat surat resmi ke Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak untuk diteruskan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat - kementerian yang ditugaskan untuk membangun konstruksi pascabencana - untuk merekomendasikan pembangunan konstruksi Huntara yang ramah terhadap perempuan.
Pemisahan toilet ini, ujar Ihsan, sudah dilakukan di Huntara yang dibangun oleh lembaga swadaya masyarakat internasional, bahkan ada toilet untuk anak
"Ini kan tinggal pembagian. Ketika jelas disebutkan ini toilet laki-laki dan perempuan, dan penerangan yang cukup, dan penerangan yang cukup. Karena salah satu keluhan dari kaum perempuan adalah penerangan yang tidak optimal."
Dia menambahkan, untuk keamanan di sekitar Huntara, pihaknya mengusulkan adanya bantuan dari pihak kepolisian untuk mengamankan area pengungsian.
(Angkasa Yudhistira)