Pada awal abad ke-20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh, sehingga tahun 1890, pasukan khusus ‘Marsose’ yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Sisingamangaraja XII di daerah Parlilitan.
Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari kolonial Belanda, membuat perlawanan gigih pasukan Raja Sisingamangaraja XII-pun terdesak. Dari situlah, Raja Sisingamangaraja XII menyingkir ke wilayah Dairi. Raja Sisingamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah.
Pihak penjajah Belanda melakukan upaya pendekatan (Diplomasi) dengan menawarkan Raja Sisingamangaraja XII sebagai Sultan Batak dengan berbagai hak istimewa. Namun Raja Sisingamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha untuk menangkap Raja Sisingamangaraja XII, mati atau hidup, semakin diaktifkan setelah melalui pengepungan yang ketat selama 3 tahun.
Akhirnya, markas Raja Sisingamangaraja XII diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis-pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali meminta Raja Sisingamangaraja XII untuk menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun sang Raja Sisingamangaraja XII yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah Belanda, memilih lebih baik mati daripada menyerah.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan kolonel macan atau brigade setan, mengepung Raja Sisingamangaraja XII. Pertahanan Raja Sisingamangaraja XII diserang dari 3 penjuru. Tetapi Raja Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok. Namun naas, mereka tertangkap oleh pasukan Belanda.
“Tanggal 17 Juni 1907, dipinggir bukit Aek (sungai) Sibulbulon di Desa Si-Onom Hudon (diperbatasan antara Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Dairi yang sekarang), gugurlah Raja Sisingamangaraja XII oleh pasukan ‘Marsose’ Belanda yang dipimpin kapten Christopel. Raja Sisingamangaraja XII gugur bersama 2 putranya, yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi beserta putri sang Raja, yaitu putri Lopian. sang Raja Sisingamangaraja XII tewas ditembak peluru, saat merangkul anak putrinya, Putri Lopian yang sudah berlumuran darah. Sang Raja Sisingamangaraja XII saat peristiwa naas itu, tidak lagi menyadari bahwa dada beliau berpantang terhadap darah manusia,” kisah Juru Kunci Makam Raja Sisingamangaraja XII, Binsar Sinambela.
Suami Adelina boru Siahaan (66), Binsar Panjaitan yang dikaruniai 5 anak laki-laki dan 1 anak perempuan itu mengisahkan, dalam peristiwa itu, juga banyak pengikut dan panglima-nya Raja Sisingamangaraja XII.
Pengikut-pengikut Raja Sisingamangaraja XII yang selamat saat itu berpencar dan berusaha terus melakukan perlawanan. Sedangkan keluarga Raja Sisingamangaraja XII yang masih hidup, dihina dan dinista pasukan Belanda dan kemudian ditawan di Internering Pearaja Tarutung. Jasad Raja Sisingamangaraja XII, anaknya dikebumikan di Tangsi Tarutung.