"[Suatu ketika] saya harus menjalani tes USG. Pengalaman yang menyakitkan ... tak ada yang mau berbicara dengan saya, bahkan dokter tak memandang wajah saya," lanjutnya.
Dia menilai dirinya dipandang rendah karena ia berstatus sebagai tahanan.
Tapi ini baru awal dari penderitaannya yang panjang selama menjalani hari-hari di penjara.
"Setelah tes USG, saya dipindahkan ke sel tunggal selama 15 hari," katanya. Di Tihar, sel tunggal -- yang dipisahkan dari para tahanan lain -- adalah hukuman bagi mereka yang dianggap berperilaku buruk.
"Tak ada yang mau berbicara dengan saya ... tak ada interaksi orang lain. Toilet hanya berupa lubang di lantai," jelasnya.
Dari sel tunggal, Safoona dipindahkan ke sel lain. Kali ini ia tinggal bersama dua penghuni lain.
"Cukup luas untuk tidur bagi kami bertiga, namun kami tak bisa menerapkan jaga jarak," katanya.
Kondisi di sel dan di kompleks penjara yang tak memungkinkan penjarakan sosial membuatnya khawatir akan terkena virus corona, baik dari para tahanan maupun dari sipir.
Satu fasilitas air dipakai oleh lebih dari 100 tahanan perempuan. Sering kali ia melihat orang berdesak-desakan di fasilitas ini.
"Saya sangat khawatir akan terkena Covid-19. Jika saya terinfeksi, saya harus menjalani isolasi yang lama," lanjutnya.
Ini membawa dampak psikologis bagi dirinya.
Ketika dia dimasukkan sel sendirian, tanpa ada interaksi dengan orang lain, kondisi kesehatan mentalnya memburuk.
"Saya merasa kosong, larut dalam kesepian dan keputus-asaan .... saya merasa manusia tak sepantasnya menerima perlakuan seperti ini," ujarnya.