PATI - Kesenian Tayub merupakan tradisi yang masih terus dilakukan masyarakat pesisir utara Pulau jawa, khususnya di Kabupaten Pati. Tradisi ini dilakukan minimal setahun sekali dalam acara sedekah bumi. Di salah satu desa di Kabupaten Pati, tradisi tayub ini juga dianggap sebagai pestanya para kaum petani.
Para sesepuh mengartikan nama Tayub sebagai ditoto ben guyub, (Bahasa Jawa: diatur agar tercipta kerukunan), sebuah filosofi yang ditanamkan pada Tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasi jiwa dan bakat seni.
Tayub juga merupakan tradisi yang mengandung unsur keindahan, spiritual dan keserasian gerak. Unsur keindahan berasal dari lenggak lenggok penari, unsur spiritualnya dipercaya jika ada laki-laki yang berani mbeso (menari), dirinya akan awet muda. Sedangkan unsur gerak terlihat pada gerakan penari tersebut.
Berdasarkan pantauan Solopos melalui kanal Youtube, Soma Channel, Selasa (11/5/2021), menjelaskan tradisi Tayub dipercaya sudah ada sejak masa kerajaan Singasari. Pertama kali digelar pada masa pemerintahan Prabu Tunggul Ametung.
Kemudian tradisi ini berkembang di Kerajaan Kediri dan Majapahit. Pada zaman ini, tradisi ini dilakukan sebagai bagian dari upacara syukuran bagi para pemimpin pemerintahan yang mendapatkan jabatan baru atau sebagai ritual doa bagi prajurit yang akan maju berperang.
Saat agama Islam masuk ke Indonesia, tradisi Tayub jarang dilakukan, khususnya yang berada di dekat dengan pusat kerajaan, seperti yang ada di Demak. Tradisi Tayub pada masa itu hanya dilakukan di daerah pedesaan.
Baca Juga : Penganut Islam Aboge di Banyumas Gelar Sholat Id Hari Ini
Kisah di balik kesenian Tayub ini diawali dari turunnya para dewi kayangan ke bumi dan menari berjejeran dengan gerak yang serasi. Pada masa pengajaran Walisongo, Tayub dipakai sebagai media untuk berdakwah, sehingga unsur-unsur agama Islam dimasukan.