Kisah Medlar, Buah Abad Pertengahan dengan Nama 'Vulgar' yang Terlupakan Zaman

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Senin 28 Juni 2021 06:35 WIB
Buah medlar (Foto: Shutterstock)
Share :

Sementara itu, kadar zat tanin, yang membuat anggur merah memiliki rasa pahit, dan antioksidan seperti asam askorbat (yang kaya vitamin C), habis.

Proses ini dinamakan bletting, sebuah kata yang diciptakan oleh ahli botanis, setelah menyadari tidak ada kata yang menggambarkan proses ini pada 1839.

Hasilnya, buah yang sangat manis dengan rasa yang kompleks, seperti kurma masak yang dicampur dengan lemon, dan tekstur agak kasar.

"Saat buah medlar sudah benar-benar masak, mereka enak dimakan," ujar Jane Steward, yang menanam 120 pohon medlar di kebunnya, di Norfolk, pada 2015 — mungkin koleksi terbesar di Inggris.

Namun bila buah busuk tidak menggugah selera Anda, Anda tidak sendiri. Faktanya, bahkan ketika medlar di puncak popularitasnya, opini masyarakat tentangnya juga terbelah.

Sebuah makalah penelitian jenaka pada 1989 mengumpulkan beberapa testimoni klasik tentang medlar. Termasuk, "buah [medlar] terbaik, rasanya satu tingkat lebih baik dari apel busuk" yang ditulis pada buku berkebun pada abad ke-19.

Komentar lain, "medlar tidak bisa dimakan sampai dia busuk, dan setelah itu rasanya tetap sangat tidak enak" - ditulis oleh seorang penulis anonim di abad pertengahan.

Setelah itu, masih ada pertanyaan tentang bagaimana cara memakan medlar. Salah satu cara, orang bisa langsung menyesapnya dengan tangan kosong. Cara lain, yang lebih aristokrat, medlar biasanya dihidangkan bersama dengan keju - dengan masih berlapis serbuk gergaji tempatnya diperam - lalu disendok.

Medlar juga bisa dipanggang, dibuat menjadi jeli, dibuat kue tart, atau diubah menjadi brendi atau sari buah.

Terlepas dari berbagai guyonan bernada seksual dari buah yang memiliki nama panggilan vulgar tersebut, banyak orang mengira, kebutuhan medlar untuk membusuk ini yang menjadi penyebab ia sangat sering muncul di berbagai karya seni.

Orang-orang di abad pertengahan sangat suka dengan simbolisme yang ditawarkan medlar - busuk sebelum masak.

Dalam Canterbury Tales karya Geoffrey Chaucer, dia membuat perbandingan dengan buah ini - "Kecuali aku seperti medlar, selalu diawetkan" - untuk menggambarkan usianya yang kian menua.

Meski begitu, 'bletting' juga menjadi alasan kejatuhan medlar. Buah ini masih menjadi panganan penting selama musim dingin di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga selama Perang Dunia Kedua. Saat itu, pemerintah Inggris bahkan menyarankan agar orang-orang mengonsumsinya, seperti yang tertulis dalam dokumen Dig For Victory.

Tak lama setelah masa itu, medlar menghilang dari toko-toko selamanya.

Salah satu alasan yang masuk akal, buah-buahan tropis seperti pisang dan nanas menjadi lebih murah, dan bisa dipanen sepanjang tahun. Tidak ada lagi kebutuhan simpanan makanan untuk musim dingin.

Pengalaman Steward di industri medlar juga mengatakan bahwa pekerjaan tambahan dari proses 'bletting' dan fakta tidak seorang pun mau menghabiskan hari memanen buah di musim dingin yang menggigit, adalah alasan mengapa medlar menghilang.

"Kita punya romantisme dengan hari-hari cerah, dan keranjang anyaman, dan memakai sandal saat berkebun di negara ini — bukannya berdiri di siang hari musim dingin memetik buah," katanya.

Saat ini, pohon medlar masih bisa ditemukan tersebar di seluruh Eropa, terkadang di tepi jalan, terkadang di kebun seseorang. Tetap saja, untuk menemukannya, butuh pelacakan jeli.

Pohon medlar favorit Steward adalah yang ditanam di Langley Abbey, Norfolk, Inggris, sejak 1820. "Setelah 200 tahun, pohon itu masih berbuah — sangat indah," ujarnya.

Tapi ini bukan akhir ceritanya.

Di wilayah asalnya, dekat Laut Kaspia, buah ini masih sangat populer. Medlar masih ditanam secara luas di Iran, Azerbaijan, Kirgistan, dan Turki — di mana ia dijual dengan nama musmula.

Steward berkata, ia pernah menerima pesan dari sebuah keluarga asal Kirgistan yang pindah ke Inggris dan ingin mencari buah medlar, biasanya tumbuh liar di negara asal yang ditinggalkan mereka.

Tanaman ini juga memiliki sejarah panjang sebagai obat tradisional di wilayah tersebut. Di pedesaan Gilan di Iran utara, daun medlar, kulit kayu, buah, dan batang kayunya dipakai untuk mengobati berbagai penyakit, seperti diare, perut kembung, dan menstruasi yang tidak teratur.

Menariknya, ini sama dengan pemakaian medlar di Eropa pada abad pertengahan.

Dokter dan ahli botani abad ke-17, Nicholas Culpaper, menulis medlar dapat membantu perempuan "ketika menstruasi mereka terlalu banyak", dan kapsul yang terbuat dari medlar kering, ditumbuk dan dicampur dengan cengkeh, pala, karang merah, dan perasan air mawar merah biasa dipakai untuk meringankan sakit perut.

Saat ini, medlar tidak begitu dikenali di Eropa. Namun diam-diam dia mulai menyelinap kembali ke hadapan publik — sebagian besar berkat upaya para fanatis seperti Stewars, yang memasarkan berbagai produk buatan rumah dari medlar — seperti selai dan gin.

Jika tren ini terus berlanjut, mungkin buah ini akan kembali terkenal — dan punya julukan-julukan vulgar baru dari generasi selanjutnya.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya