"Isunya apa sih jika ingin diubah? Isu emisi? Tercapai kok. Kita tetap cinta lingkungan, emisi karbon harus diturunkan, tetapi tidak boleh ditunggangi untuk menyengsarakan, rakyat kemahalan membayar listrik, dan APBN terbebani. Tanpa itu (revisi UU EBT) pun dengan kajian yang ada, emisi yang terjadi sudah lebih rendah, sudah mencapai target, jadi jangan khawatir," ujar pakar energi itu.
Kementrian ESDM ngebut menyelesaikan RUU EBT, revisi Permen dan Perpres EBT yang kini diwarnai pro kontra tersebut atas pertimbangan menciptakan kepastian hukum dalam peralihan Energi Baru Terbarukan (EBT) tenaga surya yang memiliki potensi 200.000 Mega Watt (MWA) atau 50 persen dari total potensi EBT dari 400.000 MW. Apalagi, Indonesia telah terlanjur berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 mendatang.
“Menteri ESDM gak usah bingung-bingung penurunan emisi di sektor energi tidak memenuhi target, saya yakin itu memenuhi target dan hitung-hitungan itu ada termasuk saya juga membaca laporan dari BPPT,” katanya tegas.
Oleh karena itu, pendapat Mukhtasor, terkait transisi energi dari fosil harus dilakukan dengan cara khas Indonesia, yaitu dengan membangun ekonomi produktif di dalam negeri dan pembangunan ramah lingkungan, serta proses yang membangun kemampuan Nasional.
“Sesungguhnya Indonesia sudah punya cara khas, cara lama yang bahkan sudah menjadi Undang-undang tapi cara ini di tinggalkan. Dan saya ingin mengingatkan cara ini agar digunakan, yaitu dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Seharusnya semua pihak memegang ini karena sudah menjadi konsenus Nasional jadi transisi energi,” ucapnya tegas.
Yang justru harus dilakukan Pemerintah saat ini adalah mengurangi ekspor batubara yang terlalu jor-joran, pembakaran hutan untuk perluasan industri dan penggunaan bahan bakar berkualitas rendah pada sektor transportasi yang justru menyumbang emisi lebih banyak sehingga urgensi revisi Permen ESDM Nomor 49 tahun 2018 tidak lah penting.
“Nggak mendesak saya kira, maksudnya Permen-nya tidak mendesak diubah. Malah yang sering diubah itu regulasi kementrian ESDM. Jadi yang terbarukan itu bukan energinya, tapi regulasinya yang terbarukan. Dan itu (regulasi) semuanya tentang harga mulu yang diuplek-uplek. Jadi udahlah, nggak perlu diubah dulu,”katanya.
Dalam diskusi yang dipandu oleh penyiar dan jurnalis senior MNC Media Gaib Maruto Sigit ini, para pakar juga menyoroti skema feed in tariff yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dinilai tidak relevan diterapkan mengingat harga energi baru terbarukan (EBT) sudah semakin murah.