Pemimpin Kudeta: Tentara Sudan Rebut Kekuasaan untuk Cegah Perang Saudara

Susi Susanti, Jurnalis
Rabu 27 Oktober 2021 10:09 WIB
Aksi demonstran protes kudeta di Sudan (Foto: AFP)
Share :

SUDAN - Pemimpin kudeta Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan militer merebut kekuasaan pada Senin (25/10) untuk mencegah "perang saudara".

Dia menambahkan bahwa Perdana Menteri yang digulingkan Abdalla Hamdok ditahan di rumah sang jenderal "untuk keselamatannya sendiri", tetapi sekarang telah kembali ke rumah.

Protes berlanjut untuk hari kedua di ibu kota, Khartoum. Jalan, jembatan dan toko ditutup. Saluran telepon dan internet juga terganggu. Sedikitnya 10 orang dilaporkan tewas sejak kerusuhan dimulai.

"Bahaya yang kita saksikan minggu lalu bisa membawa negara itu ke dalam perang saudara," kata Jenderal Burhan pada konferensi pers sebelumnya pada Selasa (26/10).

Baca juga: PM Sudan Abdalla Hamdok Ditahan di Rumah Dewan Militer

"Perdana menteri ada di rumahnya tetapi kami khawatir dia akan dilukai," tambahnya.

"Saya bersamanya tadi malam... dan dia menjalani hidupnya... dia akan kembali ke rumahnya saat krisis usai dan semua ancaman hilang,” lanjutnya.

Jenderal itu mengatakan dia telah membubarkan pemerintahan sipil, menangkap para pemimpin politik dan menyerukan keadaan darurat karena kelompok-kelompok politik telah menghasut warga sipil melawan pasukan keamanan.

Baca juga: Pasca-Ditahan, PM Sudan Abdalla Hamdok Sudah Kembali ke Rumahnya

Jenderal Burhan, yang merupakan kepala dewan pembagian kekuasaan, mengatakan Sudan berkomitmen untuk transisi ke pemerintahan sipil, dengan pemilihan yang direncanakan pada Juli 2023.

Wartawan BBC Mohamed Osman di Khartoum mengatakan fakta jika Jenderal Burhan telah menyiapkan daftar panjang menteri, serta berjanji untuk mengumumkan pengangkatan hakim tinggi dalam waktu dua hari, menunjukkan perencanaan ekstensif sebelum kudeta.

Pengambilalihan itu menuai kecaman global. Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Afrika yang memiliki Sudan sebagai anggota, semuanya menuntut pembebasan segera semua pemimpin politik yang ditangkap termasuk anggota kabinet Hamdok.

Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan Sudan termasuk di antara "epidemi kudeta" yang mempengaruhi Afrika dan Asia. Dia mendesak "kekuatan besar" dunia untuk bersatu demi "pencegahan yang efektif" melalui Dewan Keamanan PBB.

Sementara itu, AS telah menghentikan bantuan senilai USD700 juta (Rp10 triliun) untuk Sudan. Uni Eropa telah mengancam akan melakukan hal yang sama. Keduanya menuntut pemulihan pemerintahan sipil tanpa prasyarat.

Sejak Senin (25/10), pasukan dilaporkan pergi dari rumah ke rumah di Khartoum untuk menangkap penyelenggara protes lokal.

Wartawan BBC mengatakan ribuan orang telah bergabung dalam protes di ibukota, terutama di lingkungan perumahan dekat pusat kota.

Bandara kota ditutup dan semua penerbangan dibatalkan hingga Sabtu (23/10) lalu.

Staf di bank sentral negara itu dilaporkan mogok, dan dokter di seluruh Sudan dikatakan menolak bekerja di rumah sakit yang dikelola militer kecuali dalam keadaan darurat.

Demonstran Sudan memasang tanda-tanda kemenangan dengan penghalang jalan yang terbuat dari mengubur ban di ibu kota Khartoum, pada 26 Oktober 2021, saat mereka memprotes kudeta militer yang menggulingkan transisi ke pemerintahan sipil

Para pemimpin sipil dan rekan-rekan militer mereka telah berselisih sejak penguasa lama Omar al-Bashir digulingkan pada 2019.

Perjanjian pembagian kekuasaan antara para pemimpin sipil dan militer dirancang untuk mengarahkan Sudan menuju demokrasi tetapi telah terbukti rapuh dengan sejumlah upaya kudeta sebelumnya, yang terakhir lebih dari sebulan yang lalu.

(Susi Susanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya