Kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) telah berulang kali mengajukan tantangan hukum yang mencoba untuk mencabut undang-undang tersebut, tetapi tidak ada yang berhasil.
Pada Februari, pengadilan tertinggi Singapura telah memutuskan bahwa karena undang-undang tersebut tidak ditegakkan, itu tidak melanggar hak konstitusional, seperti yang didalilkan oleh penggugat, dan menegaskan kembali bahwa undang-undang tersebut tidak dapat digunakan untuk menuntut laki-laki karena melakukan hubungan seks sesama jenis.
Beberapa kelompok agama termasuk Muslim, Katolik dan beberapa Protestan terus menolak setiap pencabutan undang-undang tersebut, kata Lee.
Pada Minggu, sebuah aliansi lebih dari 80 gereja menyatakan kekecewaan yang kuat atas keputusan pemerintah.
"Pencabutan itu adalah keputusan yang sangat disesalkan yang akan berdampak besar pada budaya yang akan ditinggali oleh anak-anak kita dan generasi masa depan Singapura," kata aliansi tersebut.
Singapura adalah masyarakat multi-ras dan multi-agama dari 5,5 juta, di antaranya sekira 16% adalah Muslim, dengan komunitas Buddha dan Kristen yang lebih besar. Negara ini memiliki populasi etnis Tionghoa yang dominan dengan minoritas Melayu dan India yang cukup besar, menurut sensus 2020.