Buku terbaru Anda berjudul 'The Brain of the Future'. Apa yang akan menjadi masa depan otak?
Secara anatomis, otak tidak akan berubah selama berabad-abad.
Dengan teknologi baru yang sedang dikembangkan, kita dapat berpikir bahwa mungkin di masa depan otak kita akan lebih dipengaruhi oleh rekayasa genetika dan [kemungkinan] bioteknologi untuk mengembangkan kemampuan kita.
Saat ini, kita dapat memanipulasi gen melalui seleksi buatan dan memodifikasi sifat biologis.
Teknologi memungkinkan pengembangan jaringan buatan, seperti kulit yang terbuat dari plastik, dan perangkat seperti retina buatan atau implan koklea, misalnya.
Kemungkinan besar dalam beberapa ratus tahun ke depan akan memungkinkan untuk membuat atau meregenerasi jaringan saraf yang menyusun otak.
Ini akan memiliki implikasi penting untuk pengobatan penyakit yang saat ini belum ada obatnya, seperti demensia.
Beberapa orang meyakini teknologi baru akan membuat kita berhenti menggunakan otak kita. Apakah memang demikian?
Tidak, tidak sama sekali.
Tidak ada mesin yang bisa menggantikan otak kita.
Pikiran kita lebih dari sekadar pemroses data. Pikirkan tentang semua kemampuan otak kita, seperti memahami pikiran manusia lain, merasakan sakitnya, menanggapinya.
Empati, altruisme, dan kerja sama adalah kemampuan yang asing bagi mesin mana pun, dan itu sangat penting bagi kehidupan kita.
Kita tidak boleh lupa bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial.
Otak telah berevolusi selama jutaan tahun. Bisakah evolusi dibalik oleh kecerdasan buatan, teknologi baru, atau faktor lainnya?
Justru karena ini adalah produk dari jutaan tahun evolusi, dibutuhkan ribuan tahun untuk melihat perubahan di otak.
Melihat sejarah evolusi kita, tidak ada perubahan besar dalam penampilan fisik manusia selama 200.000 tahun terakhir.
Sulit untuk berpikir bahwa struktur otak akan berubah secara drastis dalam beberapa abad mendatang.
Evolusi otak juga tidak akan terbalik, karena fungsi yang dibutuhkan untuk tugas-tugas tertentu, seperti menghafal data atau melakukan operasi matematika tertentu, membutuhkan lebih banyak fungsi.
Tetapi penting untuk waspada terhadap stres yang ditimbulkan oleh ketergantungan yang berlebihan pada teknologi, karena kita tahu bahwa stres kronis berdampak negatif pada kesehatan dan otak kita.
Apakah kita lebih didominasi otak kita, atau emosi kita?
Ini pertanyaan yang sangat bagus. Kita dipengaruhi keduanya, karena dua hal itu bukanlah hal yang berbeda.
Emosi bertempat di otak kita dan merupakan pusat dari kehidupan ktia.
Emosi mempengaruhi emosi kita karena kita mengingat dengan jelas hal-hal yang membuat emosi kita tergerak.
Misalnya, semua orang mengingat apa yang mereka lakukan apda 11 September 2001 ketika Menara Kembar diserang, tapi tak ada yang mengingat apa yang mereka lakukan sehari sebelumnya.
Selain itu, emosi memengaruhi proses pengambilan keputusan kita.
Dengan cara yang disederhanakan, kita memiliki dua sistem untuk membuat keputusan: satu otomatis dan cepat, yang merupakan produk mekanisme evolusi, dan yang lainnya, lambat dan rasional.