NEW YORK - Direktur Eksekutif Badan Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) Catherine Russell mengatakan “sangat jelas bahwa anak-anak, terutama anak-anak yang paling terpinggirkan – yaitu anak perempuan, penyandang disabilitas dan yang hidup dalam krisis kemanusiaan – menghadapi krisis pendidikan yang sesungguhnya.”
Russell berbicara dalam diskusi panel Konferensi Transformasi Pendidikan pada Senin (19/9/2022) di sela-sela sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Russell menegaskan pihaknya akan bekerja keras untuk memastikan agar semua anak dapat belajar hal-hal mendasar.
Baca juga: Banjir Dahsyat Pakistan, UNICEF: 3,4 Juta Anak-Anak Butuh Alat Pendukung Kehidupan
“Mereka harus dapat membaca, berhitung, dan terus belajar. Kami akan mendukung kesehatan mental mereka dan memastikan inklusi digital,” terangnya, dikutip VOA.
Baca juga: PBB Peringatkan Anak-Anak Disabilitas Dilecehkan dan Diabaikan di Panti Asuhan Ukraina
“Kita perlu mendukung guru, kepala sekolah dan orang tua, serta kita perlu memantau dan mengukur kemajuan kita untuk memastikan keberhasilan dan mengetahui kegagalan mereka, jadi kita tahu dan dapat mengkajinya,” lanjutnya.
Secara khusus, Russell menyoroti urgensi anggaran.
“Pendanaan yang memadai sangat penting untuk mencapai hal ini, dan kita semua memiliki peran untuk membantu pemerintah mendanai pendidikan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif UNAIDS, Winnie Byanyima, yang juga berbicara dalam diskusi itu, mengatakan setiap minggu terdapat sekitar 4.900 remaja putri berusia 15-24 tahun yang terinfeksi HIV. Di wilayah sub-Sahara Afrika, enam dari tujuh infeksi HIV baru di kalangan remaja berusia 15-19 tahun terjadi di kalangan anak perempuan.
Sementara Komisaris Tinggi PBB Untuk Pengungsi Filippo Grandi menyoroti soal pendidikan untuk anak-anak pengungsi.
“Fokusnya adalah memasukkan mereka ke dalam sistem pendidikan nasional. Inklusi tidak berarti integrasi selamanya, berarti inklusi selama periode di mana mereka membutuhkan perlindungan negara lain. Ini berlaku untuk pengungsi, anak-anak perempuan, kelompok disabilitas, semua orang yang terdampak krisis. Ini berarti kita memerlukan kebijakan inklusi yang baik, dan juga sumber daya,” paparnya.
(Susi Susanti)