KARACHI - Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai pada Selasa (11/10/2022) kembali ke negara asalnya, Pakistan, untuk menemui para korban banjir. Kedatangannya ini sekaligus menandai 10 tahun setelah upaya pembunuhan Taliban terhadapnya.
Ini menjadi kunjungannya yang kedua kali sejak dia diterbangkan ke Inggris demi menyelamtkan nyawanya dari insiden penembakan. Yousafzai sebelumnya sempat kembali ke Pakistan untuk pertama kalinya pada Maret 2018 lalu.
Yousafzai baru berusia 15 tahun ketika Taliban Pakistan - sebuah kelompok independen yang berbagi ideologi yang sama dengan Taliban Afghanistan - menembak kepalanya karena kampanyenya untuk pendidikan anak perempuan.
Baca juga: Angkat Bicara, Malala Sebut Larangan Hijab Siswi India 'Mengerikan'
Pada Selasa (11/10/2022), dua hari setelah peringatan 10 tahun serangan itu, dia mendarat di Karachi. Di sini, dia akan melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang hancur akibat banjir monsun yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca juga: Malala Yousafzai Menikah Secara Islam di Inggris
Organisasi Malala Fund dalam sebuah pernyataan mengatakan kunjungannya bertujuan untuk membantu menjaga perhatian internasional terfokus pada dampak banjir di Pakistan dan memperkuat kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang kritis.
Seperti diketahui, bencana banjir membuat sepertiga wilayah Pakistan terendam air, membuat delapan juta orang mengungsi, dan menyebabkan kerugian sekitar USD28 miliar (Rp430 triliun).
Yousafzai dibesarkan di kota Mingora di Lembah Swat yang sangat konservatif, dekat dengan perbatasan dengan Afghanistan.
Taliban Pakistan, yang dikenal sebagai Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), melancarkan pemberontakan selama bertahun-tahun di sana yang berakhir dengan tindakan keras militer besar-besaran pada 2014.
Namun, saat ini kerusuhan kembali terjadi sejak Taliban Afghanistan kembali berkuasa di Kabul tahun lalu.
TTP telah mengklaim puluhan serangan dalam beberapa pekan terakhir, sebagian besar terhadap pasukan keamanan dan tetua anti-Taliban.
"Kami lelah dan tidak bisa lagi membawa mayat," kata Muhammad Ali Shah, mantan Wali Kota Swat, dikutip AFP.
"Adalah tanggung jawab negara untuk melindungi warganya dan memberi mereka keamanan, tetapi sikap diam pemerintah atas semua insiden ini adalah tindakan criminal,” terangnya.
Lebih dari 5.000 orang memblokir jalan utama melalui Mingora, dipicu oleh serangan terbaru terhadap bus sekolah pada Senin (10/10/2022), di mana pengemudi tewas dan seorang anak laki-laki berusia 10 atau 11 tahun terluka.
TTP telah membantah bertanggung jawab dan polisi mengatakan mereka sedang menyelidiki motifnya.
Siswa dan guru keluar dari sekolah - termasuk sekolah yang dihadiri oleh Yousafzai yang didirikan ayahnya - untuk menyerukan perdamaian.
"Protes kami akan berlanjut sampai penangkapan para pembunuh, kami tidak akan bangkit dari sini sampai pejabat tinggi pemerintah meyakinkan kami akan keadilan dan diakhirinya militansi," kata dokter Amjad Ali, 36.
(Susi Susanti)