"Kakek saya hidup dan meninggal di rumah ini. Dia meninggal tahun 1954. Kakek saya dulu usaha jual beli kasur kapuk, tokonya ada di lokasi yang sekarang jadi Segitiga Senen. Dia juga punya banyak kos-kosan, salah satunya di Jalan Kramat Raya 106. Sebelum meninggal, rumah itu diwariskan, dibagi ke anak-anaknya," papar Yanti Silman.
Di museum, tidak ada satu pun foto Sie Kong Lian yang terpasang. Pihak museum berdalih, selama ini kehilangan jejak Sie Kong Lian dan keluarganya. Beberapa informasi dan foto-foto yang selama ini beredar di internet pun tidak akurat.
"Beberapa foto yang memang saat itu banyak beredar di internet, itu informasinya cukup menyesatkan. Kenapa? Karena memang yang dipublikasikan itu bukan Sie Kong Lian. Parahnya malah, foto yang dipublikasikan itu adalah foto pengusaha salah satu bank kenamaan, yaitu Liem Sioe Liong," papar Eko.
Kesalahan fatal di internet itulah, yang akhirnya membuat keturunan Sie Kong Lian mulai bergerak, 2018 lalu. Keluarga mulai mengumpulkan bukti, dan akhirnya menemukan berkas asli untuk ditunjukkan kepada pihak museum, bahwa mereka adalah keturunan Sie Kong Lian.
"Jadi kita coba bongkar, di Jalan Senen Raya 40, rumah Sie Kong Lian yang dulu. Ada satu kotak penyimpanan.
"Ternyata masih ada, kebetulan akta waris. Di dalam akta waris itu, menyatakan bahwa Kramat Raya 106, alias Museum Sumpah Pemuda ini memang diwariskan kepada tiga anak Sie Kong Lian ini," jelas cicit Sie Kong Lian, Christian Silman.
Pihak museum menyatakan, di Badan Pertanahan Nasional atau BPN, sertifikat bangunan Museum Sumpah Pemuda masih atas nama Sie Hok Liang atau Dr Yuliar Silman, salah satu anak dan ahli waris dari Sie Kong Lian.
Yanti Silman adalah anak dari Sie Hok Liang atau Dr Yuliar Silman, yang punya hak waris atas bangunan museum itu.
"Yang terakhir, kita tahu dari ayah, Sie Kong Lian berpesan bahwa rumah itu jangan dijual. Itu saja. Jadi ayah kita berpesan ke kita, itu rumah (museum) kita hibahkan ke negara," kata cucu Sie Kong Lian, Yanti Silman.
"Kita ingin ada satu tempat atau ruangan, di mana ada foto kakek saya yang dipajang. Ini sebenarnya untuk sejarah. Biarpun saya lahir sebagai etnis Tionghoa, tapi saya tetap orang Indonesia. Supaya dikenang lah," tambahnya.
Peran etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemdua sejatinya tidak berhenti pada Sie Kong Lian, sang pemilik pondokan.
Sejarah mencatat terdapat empat pemuda peranakan Tionghoa yang menghadiri Kongres Pemuda kedua. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie.
Di luar Kongres Pemuda II, surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang pertama kali memuat teks dan notasi lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman pada 10 November 1928.
(Nanda Aria)