JAKARTA - Sebuah pameran di Rijksmuseum berupaya menjelajahi kisah kelam perbudakan dengan menampilkan karya-karya seni yang dibuat di era Zaman Keemasan Belanda. Cath Pond menelisiknya.
Potret berukuran besar karya Rembrandt yang menampilkan Oopjen Coppit dan suaminya, Marten Soolmans, adalah dua di antara sederet harta tak ternilai milik Rijksmuseum di Amsterdam, museum seni dan sejarah Belanda paling bergengsi.
BACA JUGA:Kawasan Lubang Buaya Tergenang Air 1,2 Meter, Imbas Meluapnya Kali Molek Pondok Gede
Dengan balutan busana mewah dan dilukis menggunakan teknik yang hanya bisa dipesan orang-orang kaya zaman itu, pasangan tersebut adalah wujud nyata era kemakmuran ekonomi dan kejayaan artistik yang biasa disebut 'Zaman Keemasan Belanda'.
Namun, jika diselami lebih dalam, kedua potret ini juga membeberkan kisah yang rumit dan meresahkan. Pasangan Soolmans menumpuk kekayaan dengan berinvestasi pada pemurnian gula yang diproduksi para budak di sejumlah perkebunan di Brasil.
Lebih dari 250 tahun Belanda menjajah beberapa wilayah yang kini menjadi Indonesia, Afrika Selatan, Curaçao, dan lain sebagainya. Di tempat-tempat inilah, Belanda memperlakukan budak pria, perempuan, dan anak-anak tidak selayaknya manusia.
BACA JUGA:Hujan Lebat Guyur Jakarta, 4 Ruas Jalan Terendam Banjir
Perbudakan kerap disangka sebagai sesuatu yang dilakukan sekelompok kecil komunitas di luar negeri Belanda. Namun, sebuah pameran baru di Rijksmuseum membuat terobosan dengan mengungkap bagaimana perbudakan menyebar ke setiap bidang masyarakat, baik di wilayah jajahan maupun di Belanda. Perbudakan pun menjadi warisan yang masih berimbas ke masyarakat Belanda hingga kini.
"Bukan hanya elite (yang terlibat perbudakan), tapi juga para tukang yang hidup sebagai subkontraktor, seperti pandai besi atau tukang kayu yang bekerja di galangan kapal, atau juru tulis yang membuat kontrak. Jika Anda melihat seluruh rantainya, maka (perbudakan) meresap lebih dalam di masyarakat Belanda dari yang kita kira sebelumnya. Saya pikir penting untuk memberitahu para pengunjung bahwa sejarah bukan hanya terjadi di tempat yang jauh di wilayah jajahan, tapi ini adalah sejarah nasional kami dan melibatkan kita semua," kata kurator sejarah Rijksmuseum, Eveline Sint Nicolaas, dilansir dari BBC, Senin (28/11/2022).
Kaum Protestan Belanda awalnya enggan melibatkan diri ke dalam perdagangan budak. Bahkan, seorang pendeta menyebut perbudakan sebagai "penyimpangan kepausan" yang dilakukan orang Spanyol dan Portugis.
Akan tetapi sikap ini mulai berubah ketika Belanda meluaskan penjelajahan ke luar negeri.
"Menjadi jelas jika kita ingin bersaing dan merebut dari Portugis, maka Belanda harus berpartisipasi dalam perdagangan budak. Itu menyebabkan perubahan dalam pesan yang disebarkan gereja," kata Sint Nicolaas.
"Mereka (pihak gereja) mencari kisah-kisah dalam Alkitab untuk membenarkan perbudakan dan berargumen bahwa Perjanjian Lama menyebutkan perbudakan diterima ketika Nabi Nuh mengutuk keturunan Ham menjadi budak," sambungnya.
Dalam kisah itu, Alkitab sama sekali tidak menyebut bahwa Ham adalah kulit hitam.
"Argumen ini sedemikian pelik sehingga saya selalu sulit memahami mengapa itu dimungkinkan...tapi hanya sedikit pendeta yang mempertanyakannya, padahal ada bagian menurunkan derajat 'kaum lain' sebagai manusia," ujar Sint Nicolaas.
"Saya pikir penting untuk menyebutkan rasialisme bukanlah sesuatu yang selalu eksis," kata kepala bidang sejarah Rijksmuseum, Valika Smeulders.