"Diskriminasi bersifat universal, namun melegalisasinya sebagai sistem yang membuat sebuah kelompok manusia tertentu melayani kelompok lainnya, itu adalah sesuatu yang diterapkan penjajahan. Pada akhirnya penjajahan dikuatkan oleh gagasan-gagasan rasis yang 'ilmiah'. Rasialisme dilahirkan penjajahan, bukan sebaliknya."
Bagi rakyat Belanda, memahami sejarah ini sama dengan menghadapi kebenaran yang menyakitkan. Apalagi rakyat Belanda lama menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang toleran.
Pihak Rijksmuseum sendiri menyadari bahwa mereka lamban dalam mengisahkan cerita-cerita perbudakan. "Kami pikir tidak ada obyek untuk menceritakan kisah ini dan itu adalah halangan besar di awal," jelas Sint Nicolaas.
Sejarah yang personal
Pameran ini sudah direncanakan selama bertahun-tahun. Bahkan, Rijksmuseum sampai harus memperkerjakan sejumlah staf baru yang profesional di bidangnya serta punya riwayat keluarga yang relevan.
Ambil contoh kepala bidang sejarah Rijksmuseum, Valika Smeulders. Dia lahir di Curaçao, kemudian hijrah dari Belanda ke Suriname pada 1976 ketika negara itu merdeka.
"Nenek moyang saya berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia. Mereka orang yang memperbudak, diperbudak, dan pekerja migran. Sejarah kolonial rumit ini diterima di Karibia pada laju yang lebih cepat ketimbang di Eropa. Namun kini kami mengikuti hal serupa," katanya.
Pihak museum kemudian memutuskan untuk fokus pada kisah-kisah individu yang terlibat dalam sistem perbudakan, mereka yang diuntungkan, mereka yang menderita, dan mereka yang memberontak melawan.
Fokus pada aspek sosial, alih-alih sejarah ekonomi perbudakan, adalah hal penting ketika hendak memaparkan kisah mereka yang diperbudak, "orang-orang dengan nama dan kisah, ketimbang 'budak' tanpa nama yang dilabeli 'kargo' dalam arsip," ujar Sint Nicolaas.
Kesaksian langsung dari orang-orang uang diperbudak sungguh jarang mengingat membaca dan menulis dilarang di sebagian besar wilayah jajahan. Karena itu, tim museum harus memeriksa ulang semua objek koleksi secara kritis, memaknai sumber tulisan kontemporer secara hati-hati, dan menggunakan sejarah lisan guna memaparkan kisah mereka.
Koleksi benda-benda di museum, seperti "troncos" yang digunakan untuk membelenggu kaki budak serta "kappa" yang digunakan sebagai ceret di perkebunan gula, membantu orang-orang memvisualisasikan pengalaman mereka yang dperbudak.
Kappa terkait dengan kisah Wally, seorang budak pria yang dipaksa bekerja di perkebunan gula di Suriname.