Potensi Bahaya di Balik Ulah Manusia: Misi ke Bulan hingga Bom Atom

Muhammad Fadli Rizal, Jurnalis
Sabtu 01 April 2023 04:02 WIB
Ilustrasi bom atom (Foto Freepik)
Share :

JAKARTA - Berulang kali manusia menguji kekuatan spesiesnya dengan aksi dan eksperimen. Pada akhir 1960-an, NASA harus mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi nasib manusia

Setelah Apollo 11 di Bulan mendarat di Bulan, ketiga astronaut pulang ke bumi. Eksperimen luar biasa yang masih menjadi perdebatan. Sisi negatifnya? Ada kemungkinan kecil mereka melepaskan mikroba asing yang mematikan.

Ketika umat manusia pertama kali berencana mengirim penyelidikan dan manusia ke luar angkasa pada pertengahan abad ke-20, masalah kontaminasi muncul.

Pertama, ada ketakutan akan kontaminasi "ke luar", yaitu kemungkinan bahwa makhluk yang hidup di Bumi secara tidak sengaja ikut menumpang ke kosmos.

Dikutip dari BBC, Kekhawatiran kedua adalah kontaminasi "ke dalam". Ini adalah kekhawatiran bahwa astronaut, roket, atau pesawat penjelajah yang kembali ke Bumi bisa membawa kehidupan yang bisa membahayakan, baik dengan mengalahkan organisme Bumi atau sesuatu yang jauh lebih buruk, seperti mengonsumsi semua oksigen kita.

Kontaminasi ke dalam adalah ketakutan yang harus dianggap serius oleh NASA selama perencanaan misi Apollo ke Bulan. Bagaimana jika para astronaut membawa pulang sesuatu yang berbahaya?

 BACA JUGA:

Pada saat itu, probabilitasnya tidak dianggap tinggi. Hanya sedikit yang mengira Bulan kemungkinan besar menyimpan kehidupan. Tetapi tetap saja, skenarionya harus diantisipasi, karena konsekuensinya sangat parah.

"Mungkin ada 99% keyakinan bahwa Apollo 11 tidak akan membawa kembali organisme bulan, tetapi 1% ketidakpastian itu pun terlalu besar untuk diabaikan," kata seorang ilmuwan berpengaruh pada saat itu.

Selain perjalanan ke luar angkasa, aksi uji coba senjata atom pertama pada 1945 sebenarnya juga mengandung resiko. Para ilmuwan di Proyek Manhattan melakukan perhitungan yang menunjukkan kemungkinan mengerikan.

Dalam salah satu skenario, panas dari ledakan fisi akan menjadi begitu besar sehingga bisa memicu fusi yang tak terkendali. Dengan kata lain, tes tersebut bisa saja tak sengaja membakar atmosfer, membakar lautan, menghancurkan sebagian besar kehidupan di Bumi.

Studi selanjutnya menunjukkan bahwa hal itu kemungkinan besar tidak mungkin. Tetapi sampai hari pengujian, para ilmuwan terus memeriksa kembali analisis mereka. Ketika hari H akhirnya tiba, para pejabat memutuskan untuk melanjutkan.

Ketika ledakan lebih panjang dan lebih terang dari yang diperkirakan, setidaknya satu anggota tim yang menonton mengira bahwa kemungkinan terburuk telah terjadi.

 BACA JUGA:

Salah satunya adalah presiden Universitas Harvard James Conant, yang awalnya merasa kagum, namun segera berubah menjadi ketakutan.

"Dia tak yakin bom itu akan berhasil, dan juga akan ada konsekuensi yang sangat berbahaya, dan dia mengatakan bahwa dia menyaksikan, 'akhir dunia'," kata cucu perempuannya, Jennet Conant, kepada Washington Post.

Bagi filsuf Toby Ord dari Universitas Oxford, momen itu adalah poin penting dalam sejarah manusia. Dia mencatat waktu dan tanggal tes Trinity, pukul 05:29 pada 16 Juli 1945.

Tanggal ini dianggapnya sebagai awal dari era baru kemanusiaan yang ditandai dalam kemampuan kita untuk menghancurkan diri kita sendiri.

"Tiba-tiba kita melepaskan begitu banyak energi hingga mencapai suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Bumi," kata Ord dalam bukunya "The Precipice".

Dia menulis bahwa terlepas dari ketelitian para ilmuwan Manhattan, perhitungan tadi tidak pernah ditinjau oleh ilmuwan sejawat dari pihak yang tidak berkepentingan.

Juga tidak ada bukti bahwa ada wakil rakyat diberitahu tentang risiko tersebut, apalagi pemerintah lain. Para ilmuwan dan pemimpin militer terus maju dengan keputusannya sendiri. Ord juga menyoroti bahwa, pada tahun 1954, para ilmuwan salah hitung dalam uji coba nuklir lainnya: alih-alih ledakan 6 megaton seperti yang diharapkan, ledakannya malah 15.

"Dari dua kalkulasi termonuklir utama yang dibuat pada musim panas itu… satu benar dan satu salah. Adalah suatu kesalahan untuk menyimpulkan dari sini bahwa risiko subjektif menyulut atmosfer adalah 50%. Itu jelas bukan tingkat kepercayaan untuk mempertaruhkan masa depan kita. "

Dunia yang rentan

Dari posisi kita yang tercerahkan di abad ke-21, mudah untuk menilai bahwa keputusan-keputusan itu spesifik pada waktunya.

Pengetahuan ilmiah tentang kontaminasi dan kehidupan di Tata Surya sudah jauh lebih maju, dan perang antara Sekutu dan Nazi sudah lama berlalu. Saat ini, sudah tidak ada yang mau mengambil risiko seperti itu lagi kan?

Sayangnya tidak. Entah karena kecelakaan atau hal lain, kemungkinan bencana kini lebih besar daripada dulu. Memang, pemusnahan Bumi oleh alien bukanlah risiko terbesar yang dihadapi dunia.

Namun, meskipun mungkin ada kebijakan "perlindungan planet" untuk menjaga dari kontaminasi alien, pertanyaannya adalah seberapa baik peraturan dan prosedur ini akan berlaku untuk usaha swasta yang mengunjungi planet dan bulan lain di Tata Surya.

Yang lebih memprihatinkan adalah ancaman senjata nuklir. Atmosfer yang terbakar mungkin mustahil, tetapi musim dingin nuklir yang mirip dengan perubahan iklim yang membantu membunuh dinosaurus, sangat mungkin.

Dalam Perang Dunia II, persenjataan atom tidak sebanyak atau cukup kuat untuk memicu bencana itu, tetapi sekarang sudah cukup kuat.

Ord memperkirakan bahwa risiko kepunahan manusia di abad ke-20 adalah sekitar satu dari 100. Tapi dia yakin sekarang lebih tinggi.

Di atas risiko eksistensial alami yang selalu ada, potensi kiamat akibat ulah manusia telah meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, katanya.

Selain ancaman nuklir, prospek kecerdasan buatan tak terkontrol pun muncul, emisi karbon meroket, dan sekarang kita dapat merekayasa virus untuk membuatnya jadi jauh lebih mematikan.

Kita juga menjadi lebih rentan akibat konektivitas global, misinformasi, dan kekerasan politik, seperti yang ditunjukkan oleh pandemi Covid-19.

"Mengingat semua yang saya tahu, saya menempatkan risiko abad ini sekitar satu dari enam, seperti roulette Rusia," kata dia.

"Jika kita tidak segera bersikap, jika kita terus membiarkan pertumbuhan kekuatan kita melebihi kbeijaksanaan, risiko ini bisa jadi lebih tinggi di abad berikutnya, dan setiap abad berikutnya.

Cara lain yang dilakukan oleh para peneliti risiko eksistensial untuk menandai bahaya yang berkembang ini adalah dengan meminta Anda membayangkan bola-bola dari guci raksasa.

Setiap bola mewakili teknologi baru, penemuan, atau penciptaan baru. Sebagian besar bola ini berwarna putih, atau abu-abu.

Bola putih melambangkan kemajuan yang baik bagi umat manusia, seperti penemuan sabun. Bola abu-abu mewakili berkah campuran, seperti media sosial.

Namun, di dalam guci, ada segenggam bola hitam yang sangat langka. Tapi jika satu terpilih, Anda telah menghancurkan umat manusia.

Ini disebut "hipotesis dunia yang rentan", dan menyoroti masalah persiapan untuk terjadinya peristiwa yang sangat jarang dan sangat berbahaya di masa depan kita.

Sejauh ini, kita belum memilih bola hitam. Kemungkinan besar karena itu sangat tidak umum, namun tangan kita sudah pernah menyentuhnya sedikit saat masuk ke dalam guci. Singkatnya, kita beruntung.

Ada banyak teknologi atau penemuan yang bisa berubah menjadi bola hitam.

Beberapa sudah kita ketahui, tetapi belum diterapkan, seperti senjata nuklir atau virus rekayasa hayati. Lainnya sudah muncul tapi masih tidak diketahui, seperti pembelajaran mesin atau teknologi genomik.

Yang lainnya masih tidak diketahui: kita bahkan tidak tahu bahwa mereka berbahaya, karena mereka belum diciptakan.

( Muhammad Fadli Rizal)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya