JAKARTA - Para ulama khususnya dari kalangan NU mempunyai peran penting menumpas gerakan 30 September 1965 atau G30S. Salah satunya adalah Kiai Imam Khalil yang akrab disapa Kyai Imam Sarang, terkenal dengan karomah penjalinnya.
Diceritakan dalam buku Manaqib KH Imam Khalil Kyai Sufi Membumi (editor M. Ali Rofiq), sebelum meletusnya peristiwa G/30S, selama tiga hari berturut-turut di Pesantren Sarang Kabupaten Rembang-Jateng, Kiai Imam Khalil selalu mengumandangkan adzan subuh. Demikian dilansir dari NU Online, Selasa (4/4/2023).
BACA JUGA:
Hal itu membuat gempar orang-orang yang mendengarnya. Sebab, ketika adzan subuh terdengar suara Kiai Imam Khalil pasti akan terjadi sesuatu yang mengerikan, entah bencana, musibah, atau hal-hal yang lain. Pada waktu itu ada salah satu santri yang pulang ke rumahnya. Ia lalu menanyakan perihal adzan Subuh kiainya di pesantren kepada sang ayah,
“Pak ape ono opo iki kok Mbah Imam adzan subuh mben isuk sampek tigang dinten? (Pak mau ada apa ini? Kok Kiai Imam adzan subuh tiap pagi hari sampai tiga hari)".
BACA JUGA:
“Iki ape ono parigawe cong (Ini mau ada peristiwa besar nak)," jawab wali santri tersebut.
Dan dalam waktu kurang dari sebulan datanglah PKI ke wilayah Sarang. Satu minggu sebelum kejadian itu, tepat pada Jumat, Kiai Imam Khalil memesan bambu runcing dalam jumlah besar. Bambu-bambu tersebut lalu diserahkan Kiai Imam Khalil kepada santri-santrinya.
Dengan memberanikan diri, ada salah seorang santri menanyakan perihal bambu tersebut, ”Niki kangge nopo mbah (ini untuk apa Mbah?). Kiai Imam Khalil lantas menjawab, “Iki kanggo jogo-jogo (ini untuk jaga-jaga)."
Setelah tersebar kabar pemberontakan PKI, barulah diketahui maksud Kiai Imam Khalil membagikan bambu-bambu tersebut. Masyarakat, kemudian banyak yang sowan untuk meminta bambu kepada Kiai Imam Khalil. Namun, ternyata bambu-bambu itu tidak cukup dan sudah habis dibagi-bagikan.
Akhirnya, Kiai Imam Khalil memanggil semua pengurus pondok. Beliau mengutus mereka untuk mencari sodo aren (lidi pohon aren) sebagai ganti bambu-bambu yang telah habis.
Setelah mencari kesana-kemari hingga ke selatan Kota Tuban, para pengurus yang mendapatkan mandat tugas dari Kiai Imam Khalil tak kunjung mendapatkan sodo aren yang dimaksud. Mereka hanya mendapatkan penjalin (rotan) di jalanan yang mereka lalui.
Kiai Imam Khalil pun lantas berkata, “Yowis penjalin wae” (Ya sudah pakai rotan saja). Akhirnya Kiai Imam Khalil membeli rotan dalam jumlah sangat besar untuk dibagi-bagikan kepada para santri dan masyarakat sekitar yang meminta. (H Mahfudz Kragan, halaman 129).
Beliau kemudian membuat celupan rotan di kulah (kolam) pondok lor agar rotan yang dicelupkan memiliki khasiat yang mampu mengusir para pemberontak PKI.
Kiai Imam Khalil lantas membaca wirid atau doa khusus. Tak butuh waktu lama, beliau kemudian meludah di air kulah pondok. Seketika itu beliau berseru memberikan perintah kepada santrinya yang bernama Hamzawi, “Ayo penjaline jukuki, PKI arep berontak (ayo ambil rotannya, karena PKI mau memberontak)."
“Celupno jeding, celupno jeding (celupkan ke kulah celupkan ke kulah)," seru Kiai Imam Khalil dengan tegas. Mendengar perintah sang kiai, para santri pun berbondong-bondong mencelupkan rotannya ke dalam kulah pondok yang telah diberi nama oleh beliau.
Semula celup penjalin ini dikhususkan untuk santri-santri Pesantren Sarang saja, namun karena kabar celup penjalin itu menyebar, akhirnya masyarakat Sarang dan sekitarnya datang berduyun-duyun untuk ikut mencelupkan rotan mereka ke dalam kulah pondok. (K. Dahlan, 129).
Rotan yang telah dicelupkan ini memang terkenal memiliki kekuatan atau kejadukan yang dahsyat. Bagaimana tidak?! Hanya dengan satu sabetan rotan saja, musuh langsung terkapar seketika.
Selain penjalin, mereka juga mencelupkan berbagai barang seperti baju agar kebal, kayu, dan lain-lain. Namun Kiai Imam Kholil melarang mereka untuk mencelupkan sajam dan benda-benda tajam lainnya. Beliau juga memberikan amalan khusus bagi mereka yang memberikan sowan ke ndalem Kiai Imam Kholil.
Singkatnya, tepat 30 September, PKI bergerilya menyerang wilayah Sarang. Namun, anehnya mereka tidak mampu menembus area Pesantren Sarang, sehingga penyerangan hanya terjadi di desa-desa terpencil selatan pesantren. Mereka dapat dengan mudah dilumpuhkan hanya dengan satu sabetan rotan saja.
Kiai Imam Khalil berpendapat bahwa rotan-rotan yang dicelupkan ini bukanlah alat untuk membunuh. Akan tetapi, untuk berjaga-jaga apabila ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba sebagaimana di atas.
(Nanda Aria)