“Celupno jeding, celupno jeding (celupkan ke kulah celupkan ke kulah)," seru Kiai Imam Khalil dengan tegas. Mendengar perintah sang kiai, para santri pun berbondong-bondong mencelupkan rotannya ke dalam kulah pondok yang telah diberi nama oleh beliau.
Semula celup penjalin ini dikhususkan untuk santri-santri Pesantren Sarang saja, namun karena kabar celup penjalin itu menyebar, akhirnya masyarakat Sarang dan sekitarnya datang berduyun-duyun untuk ikut mencelupkan rotan mereka ke dalam kulah pondok. (K. Dahlan, 129).
Rotan yang telah dicelupkan ini memang terkenal memiliki kekuatan atau kejadukan yang dahsyat. Bagaimana tidak?! Hanya dengan satu sabetan rotan saja, musuh langsung terkapar seketika.
Selain penjalin, mereka juga mencelupkan berbagai barang seperti baju agar kebal, kayu, dan lain-lain. Namun Kiai Imam Kholil melarang mereka untuk mencelupkan sajam dan benda-benda tajam lainnya. Beliau juga memberikan amalan khusus bagi mereka yang memberikan sowan ke ndalem Kiai Imam Kholil.
Singkatnya, tepat 30 September, PKI bergerilya menyerang wilayah Sarang. Namun, anehnya mereka tidak mampu menembus area Pesantren Sarang, sehingga penyerangan hanya terjadi di desa-desa terpencil selatan pesantren. Mereka dapat dengan mudah dilumpuhkan hanya dengan satu sabetan rotan saja.
Kiai Imam Khalil berpendapat bahwa rotan-rotan yang dicelupkan ini bukanlah alat untuk membunuh. Akan tetapi, untuk berjaga-jaga apabila ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba sebagaimana di atas.
(Nanda Aria)