JAKARTA - Peradaban manusia masih berlomba menggapai angkasa. Bahkan, kini negara-negara berlomba meneliti apakah bulan bisa menjadi tempat tinggal alternatif bagi manusia.
Sejumlah negara dan perusahaan tengah menelisik permukaan bulan untuk mencari sumber daya berharga dari satelit bumi itu. Namun adakah regulasi yang mengatur eksploitasi dan klaim kepemilikan bulan?
Hari ini lebih dari 50 tahun sejak Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan. Uman manusia masih menaruh perhatian ke bulan. Apalagi tak ada lagi manusia yang datang ke bulan sejak 1972.
BACA JUGA:
Namun situasi itu dapat segera berubah karena sejumlah perusahaan menyatakan ketertarikan mereka untuk mengeksplorasi, dan jika memungkinkan, menambang permukaan bulan untuk mencari emas, platina atau logam putih, serta sumber daya mineral lain yang makin langka di bumi, tapi vital bagi alat elektronik.
Pada 2019 lalu, Cina menerbangkan seperangkat modul bernama Chang'e-4 di bulan. Alat ini berhasil menumbuhkan benih bunga kapas dalam biosfer yang dibangunnya di permukaan bulan. Chang'e-4 pun menganalisis peluang membangun pusat penelitian.
Sementara perusahaan luar angkasa asal Jepang, iSpace, berencana membangun platform transportasi antara bumi dan bulan. Mereka juga berwacana mengeksplorasi air dari bulan.
Intinya perkembangan terus dan diwacanakan untuk terjadi. Pertanyaan, dapatkah satu-satunya satelit alami bumi itu berubah menjadi lahan komersial yang politis dan entitas yang dapat diakuisisi?
BACA JUGA:
Potensi kepemilikan benda astronomis telah menjadi perdebatan sejak penjelajahan luar angkasa dimulai pada era Perang Dingin.
Saat Badan Antariksa AS (NASA) misi penerbangan berawak pertama mereka, PBB menerbitkan perjanjian terkait luar angkasa yang diteken tahun 1967 oleh Uni Soviet, Inggris, termasuk AS.
Kesepakatan itu berbunyi, "Luar angkasa, termasuk bulan dan benda-benda antariksa lainnya, bukanlah subjek akuisisi atas dasar kedaulatan, atas dasar okupasi atau alasan lainnya."
Direktur perusahaan luar angkasa Alden Advisers, Joanne Wheeler, menyebut perjanjian tersebut sebagai 'Magna Carta antariksa'. Magna Carta yang kerap disebut dokumen awal atas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Kesepakatan tentang luar angkasa tadi membuat pengibaran bendera di bulan, seperti yang dilakukan Armstrong dan para astronot sesudahnya menjadi tak berarti. Artinya, kata Wheeler, tak ada hak atas benda antariksa yang mengikat kepada orang per orang, perusahaan, atau negara.
Tahun 1979, PBB membuat perjanjian terkait aktivitas negara di bulan dan benda antariksa lainnya—Kesepakatan Bulan. Dokumen itu menyatakan, benda luar angkasa harus digunakan untuk tujuan yang damai. PBB pun harus mengetahui alasan dan titik pembangunan setiap stasiun luar angkasa.
Perjanjian itu juga menyatakan, "bulan dan sumber dayanya adalah warisan bersama untuk seluruh umat manusia." Tak hanya itu, sebuah badan internasional harus dibentuk untuk mengelola eksploitasi setiap sumber daya yang ada, jika proyek itu memungkinkan dilakukan.
Persoalannya, baru ada 11 negara yang meratifikasi perjanjian internasional itu, di antaranya Perancis dan India. Pelaku penjelajahan antariksa terbesar, yakni Cina, AS, dan Rusia belum meratifikasinya—termasuk Inggris.
( Muhammad Fadli Rizal)