Bahkan, pasca peristiwa 65, pihaknya mencatat ada penghentian memainkan lagu keroncong kepada seniman asal Jakarta, yang dianggap menjadi anggota lekra, organisasi sayap kesenian yang berafiliasi dengan PKI.
“Ada kasus seorang kakek di Jakarta namanya Supaksi dihentikan, karena diindikasikan dia memainkan lagu-lagu yang mengarah katanya dianggap warnanya orang merah komunis, pasca 65 dihentikan dianggap sebagai lekra, padahal dia bukan lekra. Dia ngamennya memang genre-nya keroncong, tapi dianggap sebagai lekra,” katanya.
Keberpihakan Bung Karno kepada blok kiri di ujung pemerintahannya sebagai presiden, juga membuat stereotipe musik keroncong identik dengan komunis juga kian kuat. Hal ini diperparah peristiwa yang ternyata membuat membawa musik keroncong, jadi labelnya PKI kala itu.
“Ambisinya Bung Karno itu (mempromosikan musik keroncong) yang nggak bisa dihilangkan, tapi dari situ dia akhirnya tersandung, mungkin kayak gitu. Makanya pasca peristiwa 65 orang – orang (yang main musik) keroncong itu dianggap pro-Soekarno dan berkomunis, makanya orang keroncong dianggap juga orang komunis, orang lekra,” jelasnya.