KELUARGA Kobus memang berasal dari Belanda, negara yang menjajah Indonesia sekian ratus tahun lamanya. Namun, keluarga berhaluan sosialis di Amsterdam ini sejak awal dikenal mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia.
Mengutip BBC News Indonesia. Keluarga Kobus ini terdiri dari Betsy, Annie, dan Miny. Ketiganya adalah anak perempuan dari seorang wanita Belanda bernama Mien.
Mereka berangkat dengan Kapal Weltevreden yang bertolak dari Pelabuhan Rotterdam pada 6 Desember 1946, bersama dengan lebih dari 200 mantan mahasiswa Indonesia serta warga Belanda yang memutuskan untuk memihak Indonesia, negeri yang baru berusia satu tahun.
BACA JUGA:
Dalam sebuah buku yang ditulis seorang jurnalis Belanda, Hilde Janssen, berjudul Enkele Reis Indonesie yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Tanah Air Baru, Indonesia’, menyebut bahwa Mien, ibu ketiga perempuan itu, aktif dalam gerakan bawah tanah melawan penjajahan Jerman di Belanda.
Mien menampung juga sejumlah pemuda Indonesia yang bekerja untuk perusahaan perkapalan Belanda. Karena sering singgah, mereka berkenalan dengan kakak beradik Kobus dan kerap mengajak mereka jalan-jalan atau menyaksikan pertunjukan keroncong.
Itu pula jodoh ketiga gadis Kobus. Masing-masing jatuh cinta pada para pelaut Indonesia yang mereka temui di sana. Dan akhirnya, mereka melakukan 'nikah masal.' Pada 9 Mei 1946, mereka semua menikah. Betsy dengan Djumiran, Annie dengan Djabir, serta Miny dengan Amarie.
Setelah itu, Kobus bersaudara itu sering mendampingi para suami mereka, untuk kumpul-kumpul bersama pemuda-pemuda Indonesia lain, atau datang ke Institut Kolonial, menonton dan bermain keroncong.
BACA JUGA:
Tiga kakak beradik Kobus ini memang sudah sejak awal ingin hijrah ke Indonesia, Namun rencana keberangkatan mereka terus menerus tertunda karena kapal-kapal Belanda memprioritaskan pengerahan pasukan ke Indonesia 'untuk menertibkan situasi' sesudah Indonesia memerdekakan diri.
Kesempatan datang pada Desember 1946 dan tak disia-siakan kaum perempuan Kobus--Betsy, Annie, Miny, dan Mien, ibu mereka. Turut pula di kapal itu sahabat mereka, Dolly, serta sejumlah orang lain.
Saat itu, Dolly sudah memiliki seorang anak, Narjo, yang berusia 1,5 tahun. Dan selama empat minggu dalam perjalanan di kapal, tak jarang Annie dan Miny merawat si Indo kecil itu. Mereka tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 1 Januari 1947.
Seusai menjalani pemeriksaan paspor dan dokumen-dokumen perjalanan, Dolly, keluarga Kobus, dan para suami mereka serta para penumpang lain, masuk kereta yang dikirim pemerintahan baru Indonesia ke Yogyakarta. Saat itu, Jakarta atau Batavia berada dalam kekuasaan Belanda.
Perjalanan kereta itu dikawal pasukan militer Belanda sampai ke garis demarkasi yang terletak di Kranji, Bekasi. Garis itu memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dengan Republik Indonesia.
Keberadaan para perempuan kulit putih amat mencolok di antara ratusan orang Indonesia yang berkulit sawo matang.
Di stasiun Kranji, seorang serdadu Belanda melihat Dolly dan Kobus bersaudara. "Dia melihat kami dan berkata, 'Ke sana?' Lalu dia menyilangkan jari di dahi. Dia pikir kami orang gila karena rombongan Belanda lain justru menuju Jakarta dan belum lama dibebaskan dari kamp tahanan Jepang," papar Dolly.