Berdasarkan data Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan), tercatat sejak 2013-2023 sudah terjadi 20 kasus kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, NTT. Namun yang terdata rinci hanya 16 kasus.
Dari data tersebut, korban kawin tangkap rata-rata berusia 13-30 tahun di mana yang paling rentan adalah perempuan remaja berusia 13, 16, dan 17 tahun. Puan menyebut, praktik kawin tangkap pun melanggar UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah,” ujar mantan Menko PMK itu.
BACA JUGA:
“Sehingga setiap pelaku yang terlibat pada kawin tangkap akan berurusan dengan hukum, karena melakukan pemaksaan perkawinan,” lanjut Puan.
Adapun larangan pemaksaan perkawinan tertuang dalam Pasal 10 UU TPKS dengan ancaman bagi pelaku penjara paling lama sembilan tahun , dan denda Rp 200 juta.
Pasal tersebut berbunyi: (l) Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah).
BACA JUGA:
Pada pasal itu turut diatur pemaksaan perkawinan termasuk dengan pemaksaan perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
“Jadi budaya kawin paksa ini merupakan hal yang melanggar undang-undang dan bisa dipidana,” ungkap Puan.
Puan mengatakan, diperlukan sosialisasi masif dari Pemerintah mengenai UU TPKS, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang wilayahnya memiliki budaya kawin paksa. Apalagi, kata Puan, mengingat budaya tersebut telah berlangsung lama.
“Saya juga mendukung langkah aparat penegak hukum yang cepat tanggap dengan mengusut kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya,” tukasnya.
Dari kasus kawin tangkap yang baru saja terjadi itu, polisi telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka dan dianggap telah melakukan penculikan. Para pelaku sudah diamankan di Polres Sumba Barat Daya serta dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 UU TPKS.
Puan pun menekankan, pernikahan harus menjadi keputusan yang diambil secara bebas oleh individu tanpa adanya tekanan atau paksaan. Ia juga meminta seluruh pihak menjunjung tinggi hak-hak perempuan.
"Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, pemangku adat, dan masyarakat lokal, kita dapat mencapai tujuan bersama dalam melindungi hak-hak perempuan dan menghormati budaya yang unik di Indonesia," sebut Puan.
Melindungi hak perempuan disebut merupakan prioritas utama dalam UU TPKS. Puan mengatakan, instrumen hukum ini menjadi yang terpenting dalam melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual, termasuk pernikahan paksa.
"DPR akan memastikan bahwa undang-undang ini dijalankan secara efektif dan semua pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dihentikan. Namun tetap menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia dengan sosialisasi yang tepat dan masif," terangnya.
Lebih lanjut, Puan memaparkan diperlukannya sinergitas antar-stakeholder untuk mencegah terjadinya kawin tangkap. Ia juga meminta perempuan korban kawin tangkap untuk diberikan layanan kesehatan, konseling, hingga pendampingan hukum dalam menghadapi kasus tersebut.
"Segala sesuatu yang bersifat pemaksaan hingga adanya kekerasan terhadap perempuan, pasti akan berdampak pada korban. Kita harus bergotong royong agar tidak ada lagi peristiwa yang mencoreng harkat dan martabat perempuan," tutup Puan.
(Fakhrizal Fakhri )