Kala itu, dia tak tahu apapun tentang politik. Meski, ayahnya jadi salah satu tokoh lokal Partai Nasional Indonesia (PNI) di Gubug. Sumarti yang masih berusia 16 tahun ikut Gerwani hanya karena urusan perut.
Sumarti sama sekali tak memahami politik yang kemudian berujung pada kemelut. “Dulu diajak ikut itu (Gerwani) ya cuma karena itu. Enggak ngerti sama sekali soal politik komunis itu kayak apa. Kalau diajak ke acara-acara gitu, biasanya malam dan bapak saya dulu enggak tahu. Saya cuma bilang kalau mau ngaji, padahal ikut acara,” kata Sumarti.
Bahkan, Sumarti yang berada di kampungnya tak tahu kabar ketika di Jakarta terjadi tragedi G30S/PKI lantaran tak punya radio untuk dengar berita. Ia hanya mendengar dari beberapa tetangganya.
Ia mengetahui bahwa Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen Achmad Jani (baca: Ahmad Yani) dan para bawahannya diculik dan dibunuh. Ekses dari peristiwa itu, para kader dan simpatisan PKI pun ditunjuk jadi kambing hitam. Berbagai daerah terjadi “pembersihan” terhadap PKI dan para anggota Gerwani, termasuk Sumarti.
"Habis 1965 itu, saya sama yang lain ikut ditangkapi. Sempat dipenjara empat bulan di Purwodadi,” ujarnya.