JAKARTA - Permasalahan di Pulau Rempang beberapa hari terakhir ini masih menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan terkait fakta-fakta yang belum terungkap ke publik sehingga memicu beredarnya hoaks atau berita bohong.
Menteri ATR/Kepala BPB Hadi Tjahjanto bahkan buka suara soal kisruh penggusuran yang tengah dialami oleh warga pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Menurutnya, tanah di pulau Rempang seluas 17 ribu hektare merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.
Lahan tersebut tidak memiliki izin HGU (Hak Guna Usaha). Selanjutnya ada juga lahan seluas 600 hektare yang statusnya adalah HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang dikeluarkan
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pertanahan, Tjahjo Arianto mengapresiasi pernyataan pemerintah dan menegaskan, bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.
"Maka harus dibedakan, disitu Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," kata Tjahjo kepada wartawan, dikutip Selasa (19/9/2023).
Hingga saat ini kata dia, belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.
"Kalau aturan yang tegas belum ada, hakikatnya kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal disitu turun menurun, itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan di cek kembali hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap,” ujarnya.
Menurutnya, tidak ada istilah tanah milik negara, adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara. Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, dengan ciri-cirinya BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerjasama dengan investor, maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) diatas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam,"ujarnya.
Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam, seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.
Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden.
"Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian,"pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menambahkan, bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.
"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," pungkasnya.
(Fahmi Firdaus )