Andre berharap, aturan turunan dari Permendag Nomor 31 Tahun 2023 dapat membatasi aktivitas social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.
“Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial,” terang Andre.
“Selain itu dalam beberapa kasus, pengusaha dapat menghindari persaingan harga yang sering terjadi di media sosial. Mereka juga dapat lebih fokus pada nilai tambah produk atau layanan mereka daripada hanya menawarkan harga yang lebih rendah,” tuturnya.
Dukungan DPR RI terhadap kebijakan larangan berjualan di media sosial, salah satunya TikTok, dinilai sebagai bentuk dukungan agar terciptanya keadilan berusaha bagi seluruh pedagang. Pemerintah pun didorong untuk memperhatikan pesan DPR yang meminta aturan atau regulasi turunan dari kebijakan ini berlandaskan pada unsur keseimbangan antara pasar digital dan konvensional.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Digital, Anthony Leong yang menilai gerak cepat Pemerintah dan DPR berkolaborasi melahirkan kebijakan tersebut sudah sangat tepat. Lahirnya aturan baru itu dianggap sebagai bukti lembaga legislatif dan eksekutif menjunjung tinggi setiap aduan masyarakat.
"DPR dan Pemerintah cepat tanggap menghadapi problematika yang ada di masyarakat. Tentunya kolaborasi ini sangat baik karena kita perlu menjaga ekosistem usaha yang baik, bagaimana keseimbangan dunia online dan offline," kata Anthony Leong.
Larangan praktik social commerce di mana media sosial dan e-commerce (perdagangan elektronik) harus dipisahkan lahir seiring terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha. Kebijakan ini sebagai respons atas sepinya pasar-pasar konvensional buntut perdagangan digital yang menawarkan harga sangat murah di social commerce.
Kegelisahan pedagang konvensional tersebut pun banyak disuarakan oleh DPR. Anthony mengapresiasi dukungan dari DPR itu sehingga Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan demi membantu pedagang di pasar-pasar konvensional.
“Suara-suara dari DPR sudah ada sejak isu ini belum terlalu menjadi sorotan. Jadi desakan dari DPR sangat berperan atas lahirnya kebijakan dari Pemerintah agar ada keberimbangan perdagangan di ranah digital dan konvensional,” sebut Wakil Sekretaris Jenderal BPP HIPMI ini.
Anthony mengatakan, praktik social commerce seperti TikTok Shop yang mengombinasikan konsep media sosial dan e-commerce dalam satu platform belakangan telah mendominasi perdagangan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut mempengaruhi keseimbangan perdagangan.
"Bagaimana juga aplikasi yang ada di luar negeri seperti TikTok Shop sangat mendominasi sekarang dan melangkahi batas-batas kewajaran harga. Tentunya mereka juga bisa menguasai kita dalam bentuk algoritma, dalam bentuk behaviour dan sebagainya," jelas Anthony.
Langkah antisipasi dari DPR dan Pemerintah terkait larangan TikTok Shop bertransaksi jual beli dinilai menjadi langkah tepat untuk melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pedagang di pasar-pasar konvensional. Apabila tidak ada intervensi, kata Anthony, praktik social commerce dapat mematikan pasar konvensional.
"Tentu ini bentuk antisipasi juga dalam rangka upaya penyelamatan UMKM di Indonesia. Dan kita memang harus tegas terhadap aplikasi dari luar seperti Tiktok yang menguasai market kita dengan sangat luar biasa ini," jelas CEO Menara Digital itu.
Terlepas dari terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony memaparkan bahwa sudah banyak pasar konvensional di Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh pelanggannya. Penyebabnya ialah, perkembangan industri teknologi digital yang merambah ke praktik jual beli.
“Tak hanya membantu perlindungan terhadap UMKM, peraturan yang baru diterbitkan juga memastikan terdapat pemisah antara media sosial dan e-commerce sehingga tidak dimonopoli satu platform,” ungkap Anthony.
Melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023, media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter dilarang digunakan untuk berjualan. Platform media sosial kini hanya boleh digunakan dalam memfasilitasi promosi, bukan untuk tempat transaksi jual beli.
Jika tetap melakukan transaksi jual beli, misalnya di Live TikTok, platform medsos tersebut akan dikenakan sanksi, bahkan ancamannya sampai penutupan platform media sosial. Aturan tersebut sebagai upaya untuk mengatur lebih tegas usaha di lini digital agar tidak mematikan pelaku UMKM dalam negeri yang masih menjajakan dagangannya melalui cara konvensional.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut pun menilai kebijakan baru terkait praktik social commerce ini dapat menjadi penghalang bentuk-bentuk monopoli platform media sosial yang merambah dunia e-commerce. Terutama, disampaikan Anthony, bagi TikTok Shop yang juga dikeluhkan pelaku usaha digital dari platform khusus perdagangan elektronik.
"Kebijakan ini menjadi benteng terhadap potensi TikTok menggunakan alogaritma penggunanya yang dimanfaatkan sebagai langkah predatory pricing sehingga lebih mampu melindungi pelaku usaha UMKM yang menjual produk serupa di e-commerce," ujarnya.