Paradoks Kepemimpinan di Banten: Perempuan dan Jawara

Opini, Jurnalis
Senin 06 November 2023 17:41 WIB
Ace Sumirsa Ali. (Foto: Dok Pribadi)
Share :

Refleksi Diri

MALAM itu sekira pukul 22.00 di pertengahan bulan Desember 2022, seorang remaja putri—sebut saja Sari—tampak duduk jongkok di trotoar Alun-alun Rangkasbitung dengan kepala tertunduk. Hingga beberapa waktu lamanya dia tak berani mengangkat kepala sampai sang ibu kandung memintanya untuk bangun. “Neng, ini Bapak yang mau bantu kita,” ucap sang ibu kandung berkata lirih memanggil sang anak yang sejak tiba di lokasi itu memang memilih duduk dengan wajah tertunduk sambil memandang trotoar. Dia mengabaikan riuhnya Alun-alun Rangkasbitung yang menurut remaja kampung seperti dirinya begitu ramai.

Sari yang dipanggil dengan sebutan Neng oleh sang ibu itu merupakan santriwati usia 16 tahunan yang menjadi korban kekerasan terhadap anak perempuan oleh seorang kakek tua bangka. Dia pernah disekap di sebuah kontrakan oleh pelaku, dirudapaksa berulang-ulang, dan diperkosa berkali-kali tanpa mampu melakukan perlawanan. Kegadisannya direnggut paksa, kehormatannya dirusak tanpa bisa melawan sampai dirinya lupa entah berapa kali telah dipaksa memuaskan nafsu birahi sang kakek binal.

Gadis remaja dari keluarga miskin ini memilih belajar di pondok pesantren salafiah selulusnya dari sekolah dasar. Kemiskinan membuat Sari harus mengubur mimpinya untuk sekolah, walau hanya untuk sebuah bangku di sekolah menengah pertama. Sari adalah potret remaja putri Kabupaten Lebak yang tidak mengenal hingar-bingar kota, karena sejak lulus sekolah dasar dia hanya belajar dan belajar. Begitulah kehidupan yang dia jalani sebagai seorang anak pondok salafiyah di sebuah kampung di pedalaman Cimarga. Bertahun-tahun dia gigih mengejar mimpi menjadi wanita berilmu agama demi menggapai kehidupan yang lebih baik kelak. Namun, mimpi indahnya untuk menjadi Ustadzah sirna seketika, sejak peristiwa rudapaksa itu menimpanya.

Kisah Sari hanyalah satu dari ratusan, atau mungkin ribuan, kasus kekerasan seksual pada perempuan di Provinsi Banten tahun ini. Situs Radar Banten pada 7 September 2023 merilis pernyataan Kepala Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Sitti Ma’ani Nina yang menyebutkan bahwa ada 583 kasus kekerasan terhadap anak di Banten. Dari ratusan kasus itu, mayoritas korbannya adalah kaum perempuan yakni sebanyak 500 orang.

Menurut berita tersebut, Kepala DP3AKKB Provinsi Banten menegaskan bahwa pihaknya perlu melatih tenaga tertentu untuk penanganan kasus tersebut di delapan kabupaten/kota se-Banten. Sitti Ma’ani mengatakan bahwa pelatihan dilakukan agar petugas di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak bisa menerapkan kode etik sebagai pekerja sosial. Bagaimana menerapkan etika bekerja, mengatasi dilema, melakukan penanganan terhadap perilaku anak, hingga mempelajari bagaimana keterlibatan petugas terhadap kasus-kasus seksual.

Lain Sari, lain pula yang dialami Uyung, seorang janda separuh tua di perbatasan Pandeglang dan Lebak. Sejak ditinggal suaminya tiga tahun silam karena menghadap sang kuasa, wanita ini memilih mandiri melanjutkan perjuangan suami menjadi pemimpin paguron pencak silat. Namun, karena tak lulus sekolah Uyung jadi kesulitan menata organisasi warisan suaminya itu. Dia tak paham apa yang harus dilakukan agar paguron pencak silatnya bisa tetap lestari. Persaingan dengan paguron lain dari jenis persilatan yang sama atau berbeda membuat keberadaan paguran yang dia pimpin terancam punah. Oleh karena itu, dia hendak membenahi administrasi paguron yang selama ini diabaikan oleh almarhum suaminya.

“Ka, wayahna bantuan Emak. Kumaha ieu paguron tinggalan Abah? Kumaha supaya jiga batur, aya aktean, aya ijinan,” ujar Uyung dalam bahasa Sunda dengan menyebut dirinya Emak ketika berkomunikasi dengan penulis. Abah yang dia maksud adalah mendiang suaminya.

***

Cerita tentang Sari dan Uyung hanyalah salah dua potret buram pembangunan Provinsi Banten dalam hal keamanan dan kenyamanan berkehidupan sosial. Betapa provinsi ini belum sepenuhnya bisa memberikan perlindungan yang cukup kepada warganya. Di tengah pesatnya pembangunan fisik di beberapa titik tertentu, ada perihal utama yang kurang mendapat perhatian, yaitu problem kemanusiaan.

Sari adalah santri yatim yang jadi korban kejahatan kemanusiaan, sementara Uyung menjadi tanda betapa lemahnya perlindungan sosial di Banten. Keduanya adalah perempuan berlatar miskin dan tak mengenyam pendidikan dasar. Keduanya juga tak mendapatkan perlindungan sosial seperti selayaknya. Sebuah kondisi yang sangat ironi, karena Provinsi Banten pernah dipimpin seorang gubernur dari genre perempuan yang hampir 15 tahun berkuasa. Setengah dari jumlah bupati/wali kota di Provinsi Banten juga adalah perempuan, bahkan bisa lebih seandainya saja Pilkada Kota Serang dan Kota Cilegon dimenangkan oleh kontestan perempuan.

Bayi Sungsang

Kelahiran Provinsi Banten ini layaknya bayi sungsang, turujun. Pada istilah lain bisan. a disebut anomali. Tatananan sosialnya adalah patriarki yang berbasis pada religiusitas Islam yang kental. Namun, berhasil memunculkan perempuan sebagai pemimpin utama dan terdepIni cukup lama terjadi sejak provinsi ini berdiri. Ibu Ratu Atut Chosiyah diketahui hampir 15 tahun memimpin. Sementara itu, Ibu Iti Octavia Jayabaya, Ibu Airin Rachmi Diany, dan Ibu Ratu Tatu Chasanah yang masing-masing memimpin selama 10 tahun lamanya, serta Ibu Irna Narulita Dimyati yang hampir menginjak 10 tahun. Rekor ini akan berlanjut jika saja Ibu Vera Nurlaela Jaman dan Ati Marliati terpilih pada Pilkada 2021 lalu.

Ibu Vera Nurlaela diketahui merupakan adik ipar Ratu Atut Chosiyah. Sang suami, Tb Haerul Jaman merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dan tercatat pernah menjabat sebagai Wali Kota Serang selama dua periode berturut-turut pada 2011–2013 dan pada 2013–2018, serta Wakil Wali Kota Serang pada 2008–2011.

Tidak jauh berbeda, Ratu Ati Marliati merupakan dinasti politk di Cilegon, ia pernah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Cilegon 2019-2020. Ayahya (Alm) Tb Aat Syafaat adalah Wali Kota Cilegon periode 2000-2010 yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Tb Iman Ariyadi (adik dari Ibu Ati Marliati) memimpin sebagai Wali Kota Cilegon periode 2010-2015 dan 2016-2021.

Mengapa penulis menyebut istilah turujun alias anomali? Sebab sejatinya basis kelompok sosial masyarakat Banten adalah ulama, cendikia, jawara. Lalu di wilayah selatan Banten hadir kelompok sosial keempat, yaitu masyarakat adat kasepuhan. Keempat kelompok sosial ini semuanya berwajah maskulin. Di mana dalam hal kekuasaan politik, laki-laki sebagai pilihan utama. Ruang publik kelompok sosial pun adalah milik para lelaki, sementara perempuan berada pada wilayah domestik. Dalam kacamata ulama, tentu tidak ada dikotomi peran publik dan domestik, keduanya memiliki peran strategisnya masing-masing. Begitupun di kalangan cendikia dan jawara. Apalagi pada masyarakat adat kasepuhan hingga saat ini, tidak ditemukan kelompok adat yang dipimpin oleh seorang perempuan.

Kepemimpinan Paradoks

Fakta kepemimpinan politik Banten selama seperempat abad yang anomali ini melahirkan paradoksal dalam beberapa hal. Bahwa tampilnya para wanita di kepemimpinan ini adalah kemajuan dalam bidang demokrasi, siapapun mendapatkan posisi setara, equality gender. Banten yang dikenal religius mampu menembus batas-batas Islam yang patriarki. Namun, jika ditilik lebih dalam, munculnya para wanita dalam kepemimpinan daerah ini hanyalah memperkokoh bangunan politik dinasti. Semua perempuan yang menjadi kepala daerah memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat atau kepala daerah yang sedang dan atau sudah tidak lagi menjabat.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya