Para pemimpin oposisi di Nepal mengkritik langkah tersebut, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut kurang “efektivitas, kedewasaan dan tanggung jawab”.
“Ada banyak materi yang tidak diinginkan juga di media sosial lainnya. Yang harus dilakukan adalah mengatur dan bukan membatasi mereka,” kata Pradeep Gyawali, mantan menteri luar negeri dan pemimpin senior Partai Komunis Nepal.
Gagan Thapa, pemimpin partai Kongres Nepal yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa, mengatakan niat pemerintah tampaknya adalah untuk “menghalangi kebebasan berekspresi”.
“Regulasi diperlukan untuk mencegah mereka yang menyalahgunakan media sosial, namun menutup media sosial atas nama regulasi adalah tindakan yang salah,” katanya dalam postingan di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Keputusan tersebut diambil beberapa hari setelah Nepal memperkenalkan arahan yang mewajibkan platform media sosial yang beroperasi di negara tersebut untuk mendirikan kantor.
TikTok, dengan sekira satu miliar pengguna bulanan, dijalankan oleh perusahaan induk ByteDance yang berbasis di Beijing dan merupakan platform sosial keenam yang paling banyak digunakan di dunia, menurut agen pemasaran We Are Social.
Banyak negara telah berupaya memperketat kontrol terhadap aplikasi tersebut karena diduga melanggar aturan data dan berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap generasi muda.